BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting dikawasan republik kita.pentingnya peranan bahasa itu antara lain berikrar pada sumpah pemuda 1928 dan UUD 1945 pasal 36. Tetapi masi ada beberapa alasan lain mengapa baahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka diantara berates-ratus bahasa nusantara yang masing-masing amat terpenting bagi bahasa ibu.pentingnya suatu bahasa dapat pula disadari berdasarkan beberapa ptokan seperti, jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranya sebagai ilmu, seni sastra, dan pengungkapan budaya.
Hal tersebut memberikan gambara betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi bahasa kita.bahasa Indonesia memiliki kedudukan penting dari bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu bukan sekali-kali karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena banyak sedikitnya jumlah kosa katanya atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan karena kemampuan daya ungkapnya, tetapi karena adanya ketiga patokan yang diatas tersebut.
Dengan ditetapkanya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam pasal 36 UUD 1945, ia telah menjadi bahasa resmi Negara Indonesia. Dalam keputusan seminar politik, bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebangsaan nasional, (2) lambang identiutas nsional,(3) alat pemersatu sebagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya , (4) alat penghubung antar budaya dan antar daerah, dan sebagai bahasa Negara .
Bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa yang paling jitu. Melelui bahasa perlahan-lahan terasa kenasionalan mengatasi rasa kedaerahan. Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah telah bertemu, keduanya saling memperhatikan dan akhirnya saling mempengaruhi.
Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan daerah dan kebuyaan nasional. Sebagai mana bahasa derah tersebar diseluruh nusantara ini, seperti ahasa jawa, sunda, dan yang lainya
Bahasa muna merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Sulawesi Tenggara. Bahasa muna yang tersebar sekarang ini terdiri atas tiga dialek, yaitu dialek tiworo kepulauan , dialek tongkuno dan dialek Gu Mawasangka.
Sehubungan dengan penjelasan UUD 1945, bahwa bahasa daerah yang masih di pakai sebagai alat penghubung yang hidup dan dibinah oleh masyarakat pemakainya di haragai oleh Negara, karena bahasa-bahasa daerah itu adalah bagian kebudayaan Indonesia yang hidup “, maka bahasa muna dialek Gu Mawasangka sampi sekarang pun masih tetap hidup dan di lestarikan oleh masyarakat pendukungnya dan di gunakan sebagai bahasa tutur atau bahasa lisan penuturnya yang terbesar di tiga kecamatan yaitu : Kecamatan Lakudo, Kecamatan Gu, dan kecamatan Mawasangaka, yang berlokasi di pulau Muna bagian selatan, tetapi masih dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton.
Seperti halnya bahasa daerah lain, bahasa Muna dialek Gu Mawasangka mempunyai sejumblah potensi kebahasaan untuk kajian linguistik. Potensi kebahasaan itu, tersebut dalam berbagai aspek kebahasaan seperti fonologi , morfologi , sintaksis, semantik, dan wacana. Aspek sintaksis inilah yang akan menjadi objek dalam penelitian ini.
Satuan sintaksis yang pokok dan minimal dalam kalimat adalah sebuah kata kalimat tunggal yaitu kata yang penuh bermakna denotatif, pronomina atau bilangan, baik yang sederhanana .dalam bahasa indonesia sebuah kata tunggal yang diambil sendiri mempunyai arti yang luas dan abstrak dari segi semaantik dan tentu umumnya dari segi gramatikal.oleh karena itu untuk mengungkapkan pikiran secar sempurna, sebuah kata bila berfungsi dalam sintaksis, diberi berbagai penegasan penanda dan pelengkap.
Perlu disadari bahwa perkembangan dan kemajuan liguistik di Indonesia turut ditentukan oleh hasil penelitian terhadap bahasa daerah. Penelitian bahasa Muna dialek Gu Mawasangka ini, sudah banyak dilkukan, terutama pada aspek kebahasaan diantaranya: Struktuk Bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka kabupaten Buton Sulaesi Tenggara oleh La Gousi et.all (1998), Sistem Morfologi dan Sintaksis Bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka oleh Sailan (1990), Analisis Deiksis Dalam Tuturan Bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka oleh Amri Salam (1997), Frasa Endosentris Bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka oleh Nursina (2004), Kesinoniman Bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka oleh La Indo Asa dan lain- lain.
Dari judul-judul tersebut, peneliti ingin mengkaji masalah lain dari aspek kebahasaan yaitu tentang Pronomina Bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka. Peneliti ingin mengkaji masalah ini karena pronomina merupakan sala satu gejala kebahasaan yang umum yang terjadi pada setiap bahasa daerah di Indonesia. Hal itulah yang membuat peneliti mengangkat masalah ini dalam karya tulis yang berupa Proposal, sehingga hasil penelitian ini akan membawa banyak manfaat bagi pengembangan teori kebahasaan dan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang memadai bagi pelaksanaan proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dilakukan oleh guru bahasa Indonesia, maupun peneliti- peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini
Karena peneliti adalah asli bahasa yang diteliti, maka peneliti mencoba mengemukakan karakter data sementara dari judul ini yaitu:
a. Pronomina persona seperti:inidi, isincu, dan anoa. Ketiga contoh tersebut adalah berbentuk tinggal, bentuk jamaknya adalah Iinsawo, di,isimincu dan andoa, masing-masing sebagai orang pertama , kedua, dan ketiga.
b. Pronomina penunjuk seperti:anoaicu, anoaini, naecu,dan naeni.
c. Pronomina penanya seperti: laae, yoae,naefie, naami, padaae, dan seae.
1.1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah bentuk-bentuk pronomina bahasa Muna dialek Gu Mawasangka?”
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pronomina bahasa Muna Dialek Gu Mawasangka.
2. Untuk mendeskripsikan analisis fungsi-fungsi sintaksis pronomina dalam bahasa Muna dialek Gu Mawasangka.
1.2.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam pengembangan teori kebahasaan
2. Dapat memberikan sumbangan terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan khususnya bagi pengembangan dan kelestarian bahasa Muna dialek Gu Mawasangka.
3. Bagi guru, melalui hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.untuk pengajaran muatan lokal,dan untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi pada pengajaran bahasa indonesia di sekokah dasar,terutama bagi murid yang mengunakan bahasa ibu,khususnya bahasa Muna dialek Gu Mawasangka.
4. Untuk memberikan masukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini,yang menjadi fokus penelitian adalah pronomina bahasa Muna dialek Gu Mawasangka, yang terdiri atas Pronomina persona,Pronomina penunjuk,dan Pronomina penanya.Penetapan ruang lingkup ini berpijak pada pendapat alwi ( 1998: 249 ) yang mengatakan bahwa pronomina terdiri atas tiga yaitu: Pronomina Persona, Pronomina Penunjuk, dan Pronomina Penanya. Ketiga macam pronomina ini nantinya akan dianalisis berdasarkan fungsi-fungsi sintaksis yang ada.
1.4 Batasan Istilah
Untuk mengantisipasi terjadinya penafsiran ganda dalam penelitian ini, maka penelittian mengemukakan beberapa istilah yang terkait dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi-fungsi sintaksis yang dimaksud disisni adalah subyek, predikat, obyek, pelengkap dan keterangan.
2. Pronominal adalah kata yang mengacu pada pronominal lain.
3. Bahasa adalah sistim lambing bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
4. Dialek adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakaianya berdasarkan letak geografis.
5. Bahasa Muna dialek Gu Mawasangka adalah sala satu bahasa yang terdapat di pulau Muna bagian selatan yang tersebar di tiga kecamatan yaitu; Kecamatan Lakudo, Kecamatan Gu, dan Kecamatan Mawasangka.
.
Rabu, 30 Mei 2012
Fugsi Media Masa Bagi Agama
Dalam bidang politik, sekularisme sangat menentang konsep negara Islam atau negara yang diatur oleh hukum-hukum Islam. Faham seperti inilah yang diserukan oleh JIL. Dalam manifestonya, JIL menegaskan; “Kami yakin, agama harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang me-misahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan pub-lik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus (kesepakatan masyarakat).”
Kesimpulannya, mereka ingin memisahkan secara tegas antara agama dan negara, antara syari’at dan kehidupan masyarakat. Mereka hendak mengucilkan agama di masjid-masjid dan surau-surau saja. Bagi mereka, agama hanyalah seperangkat hukum-hukum yang mengatur hu-bungan antara seorang hamba dengan Kholiq-Nya semata.
Dalam Bidang Media Massa
Siapa saja yang mengamati media massa Indonesia akan dengan mudah menyimpulkan bahwa ia berada dalam genggman sekularisme. Itu ditandai oleh kebebasan yang tanpa batas dalam menyatakan pendapat. Dengan dalih kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat, semua pemikir-pemikir sesat seperti JIL, kaum sekuler dan lain-lainnya bebas berbicara apa saja. Dan lebih parah lagi, sebagian besar yang disesatkan oleh media massa tersebut adalah umat Islam. Tidak jarang kita dapati di koran-koran nasional kita, tulisan tentang kecaman terhadap penerapan syari’at Islam, dukungan terhadap pornografi dan porno aksi, pengolok-olokan terhadap sebagian hukum Islam dan sebagainya.
Media massa kita tidak mengenal batas-batas syari’at, baik dalam pemi-kiran maupun dalam akhlak. Tidak sedikit pemikiran-pemikirannya yang menyimpang dari aqidah Islam bahkan telah keluar dari Islam, nampang di televisi atau muncul di koran-koran dan majalah. Penyimpa-ngan dari sisi akhlak juga terlihat sangat jelas. Wanita-wanita yang mengumbar aurat semakin membanjiri pertelevisian dan media massa kita. Bahkan majalah paling porno sedunia telah mengan-tongi izin terbit dari pemerintah. Pada-hal para ulama dan masyarakat telah lantang berteriak menolaknya, di sini kita semua patut bertanya-tanya, hen-dak dibawa kemana rakyat Indonesia?
Sedang stasiun-stasiun televisi swasta berlomba-lomba menampil-kan para penyanyi wanita dan artis-artis erotis dalam rangka menyedot iklan dan untungan materi. Lalu, hendak dikema-nakan generasi muda kita?
Fungsi Media Masa Bagi Moral
Sekularisme dalam bidang akhlak artinya membebaskan tersebar luas-nya pornografi; prilaku seksual yang menyimpang seperti homoseks, lesbian, kumpul kebo; meremehkan norma-norma agama dan nilai-nilai kesucian. Kaum sekuler menyenangi tersebarnya kemaksiatan dengan dalih kebebasan dan hak-hak individu. Mereka mengagumi para artis dan selebritis, sebaliknya antipati ter-hadap nilai-nilai kesucian. Tidak heran jika Ulil Abshor mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab yang diserap oleh kaum Muslimin non Arab. Sebenarnya tidak wajib seorang wanita Muslimah berjilbab.
Fungsi Media Masa Bagi Agama
Islam mengajarkan bahwa loyalitas (ikatan) haruslah didasarkan atas landasan aqidah dan iman. Artinya, siapa pun yang seaqidah dengan kita, maka ia saudara kita, baik satu bangsa dengan kita atau tidak. Islam tidak tidak mengenala faktor pemersatu selain ikatan iman dan islam.
Alloh berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damai-kanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Alloh supaya kamu mendapat rahmat.” Sedangkan paham sekuler meng-ajarkan bahwa loyalitas didasarkan pada kebangasaan. Artinya, aqidah apapun yang dianut oleh seseorang, baik Yahudi, Nasroni, Hindu, atau Budha, jika ia satu bangsa dengan kita maka ia saudara kita, satu rumpun dengan kita, memiliki hak-hak yang sama dengan kita, berhak untuk memimpin dan dipimpin. Inilah paham kebangsaan sekuler yang sangat ditentang oleh Islam. Tetapi paham seperti inilah yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan kita sejak SD sampai perguruan tinggi.
Bagaimana Cara Penjajah Menanamkan Sekularisme di Indonesia?
Di antara cara-cara utama yang dilakukan oleh penjajah dalam mena-namkan sekularisme di Indosesia adalah merubah siasat dari bentuk penjajahan militer kepada penjajahan pemikiran. Caranya ialah dengan mendidik dan mengkader putera-putera pribumi yang kelihatan berbakat untuk kemudian mereka jadikan kaki tangan mereka dalam mempertahankan kondisi yang non Islami. Dengan cara seperti ini, pemikiran-pemikiran sekuler yang mereka lontarkan lebih mudah diterima oleh masyarakat, karena mereka berbicara dengan bahasa kita sendiri, satu bangsa dengan kita bahkan mengaku satu agama dengan kita. Kenyataan menunjukkan, bahwa mereka (para kaki tangan penjajah itu) lebih berhasil dalam menanamkan paham sekuler dan melestarikan undang-undang warisan penjajah dibandingkan melalui jalan pemak-saan secara militer.
Ini adalah suatu strategi musuh-musuh Islam dalam menjauhkan umat dari syari’at Islam. Metode seperti ini ternyata masih terus mereka terapkan sampai saat ini.
Akibat Dari Penerapan Sekularisme
Akibat dari diterapkannya paham yang merusak ini sangat banyak. Di antaranya ialah:
1. Gaya hidup generasai Islam ter-lepas dari ikatan akhlak dan nilai-nilai Islam. Pola hidup mereka mulai mengarah kebarat-baratan, baik dalam suluk ((perilaku), adat istiadat dan budaya.
2. Bebasnya kelompok-keompok sesat menyerukan paham-paham mereka.
3. Tersebarnya berbagai macam kemungkaran dan kerusakan moral disetiap tempat. Mulai dari kota sampai ke desa-desa terpencil.
4. Turunnya laknat Alloh akibat dari menjamurnya dosa-dosa dan kemaksiatan. Sebagian dari hu-kuman-Nya berupa datangnya berbagai bencana alam yang merenggut banyak korban, seperti gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya. (Admin-HASMI).
Fungsi Media Masa Pada Moraljiwa Dan Agama Bagi Kita
‘’’’’’’’’’’’’’
Fungsi Media Masa Bagi Ekonomi
Perekonomian yang telah mengalami perkembangan pesat dalam tiga dekade terakhir tidak lepas dari adanya liberalisasi perekonomian di banyak negara. Banyak negara yang melakukan perdagangan-perdagangan bebas baik dalam skala bilateral maupun multilateral.
Perekonomian dalam sektor keuangan juga menjadi sangat terintegrasi. Namun, kondisi tersebut membuat frekuensi krisis ekonomi semakin banyak. Kaminsky dan Reinhart (1999) menyatakan bahwa intensitas krisis keuangan lebih banyak setelah banyak negara melakukan liberalisasi keuangan di tahun 1980an.
Selain itu seiring dengan tingginya globalisasi, demokrasi menjadi banyak diterima di banyak negara. Demokrasi tersebut melahirkan adanya kebebasan dalam berpendapat, terutama kebebasan media massa. Dengan didukung dengan teknologi yang juga semakin berkembang, peran media massa menjadi semakin vital dalam menyediakan dan menyampaikan informasi.
Dalam artikel ini akan dijelaskan tentang peran media massa di dalam krisis ekonomi. Setidaknya di dalam artikel ini akan menjawab tiga pertanyaan penting: Apakah semakin majunya dan cepatnya media massa dalam menyampaikan informasi turut mempercepat krisis ekonomi? Apakah krisis ekonomi dapat disebabkan oleh media massa itu sendiri? Dan bagaimanakah peran media massa di dalam upaya pemulihan ekonomi?
Setelah membahas tentang peran media massa dalam perekonomian dan krisis finansial global 2008, selanjutnya adalah mencari kaitan antara peran media massa tersebut di dalam krisis finansial global. Dari berbagai informasi yang disajikan oleh media massa terdapat informasi yang sifatnya lebih spekulatif, jauh dari pendugaan emipiris atau lainnya, yang dikenal dengan rumor.
Dalam krisis finansial 2008 terdapat beberapa faktor yang mengaitkan antara peran media dan krisis itu sendiri. Pertama pemberitaan yang dilakukan secara gencar oleh media (khusunya televisi dan internet), terutama setelah kolapsnya Lehman Brothers membuat para investor panik. Bursa-bursa saham global mengalami tekanan aksi jual.nurunan indeks yang lebih dalam.
.
Dalam bidang politik, sekularisme sangat menentang konsep negara Islam atau negara yang diatur oleh hukum-hukum Islam. Faham seperti inilah yang diserukan oleh JIL. Dalam manifestonya, JIL menegaskan; “Kami yakin, agama harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang me-misahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan pub-lik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus (kesepakatan masyarakat).”
Kesimpulannya, mereka ingin memisahkan secara tegas antara agama dan negara, antara syari’at dan kehidupan masyarakat. Mereka hendak mengucilkan agama di masjid-masjid dan surau-surau saja. Bagi mereka, agama hanyalah seperangkat hukum-hukum yang mengatur hu-bungan antara seorang hamba dengan Kholiq-Nya semata.
Dalam Bidang Media Massa
Siapa saja yang mengamati media massa Indonesia akan dengan mudah menyimpulkan bahwa ia berada dalam genggman sekularisme. Itu ditandai oleh kebebasan yang tanpa batas dalam menyatakan pendapat. Dengan dalih kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat, semua pemikir-pemikir sesat seperti JIL, kaum sekuler dan lain-lainnya bebas berbicara apa saja. Dan lebih parah lagi, sebagian besar yang disesatkan oleh media massa tersebut adalah umat Islam. Tidak jarang kita dapati di koran-koran nasional kita, tulisan tentang kecaman terhadap penerapan syari’at Islam, dukungan terhadap pornografi dan porno aksi, pengolok-olokan terhadap sebagian hukum Islam dan sebagainya.
Media massa kita tidak mengenal batas-batas syari’at, baik dalam pemi-kiran maupun dalam akhlak. Tidak sedikit pemikiran-pemikirannya yang menyimpang dari aqidah Islam bahkan telah keluar dari Islam, nampang di televisi atau muncul di koran-koran dan majalah. Penyimpa-ngan dari sisi akhlak juga terlihat sangat jelas. Wanita-wanita yang mengumbar aurat semakin membanjiri pertelevisian dan media massa kita. Bahkan majalah paling porno sedunia telah mengan-tongi izin terbit dari pemerintah. Pada-hal para ulama dan masyarakat telah lantang berteriak menolaknya, di sini kita semua patut bertanya-tanya, hen-dak dibawa kemana rakyat Indonesia?
Sedang stasiun-stasiun televisi swasta berlomba-lomba menampil-kan para penyanyi wanita dan artis-artis erotis dalam rangka menyedot iklan dan untungan materi. Lalu, hendak dikema-nakan generasi muda kita?
Fungsi Media Masa Bagi Moral
Sekularisme dalam bidang akhlak artinya membebaskan tersebar luas-nya pornografi; prilaku seksual yang menyimpang seperti homoseks, lesbian, kumpul kebo; meremehkan norma-norma agama dan nilai-nilai kesucian. Kaum sekuler menyenangi tersebarnya kemaksiatan dengan dalih kebebasan dan hak-hak individu. Mereka mengagumi para artis dan selebritis, sebaliknya antipati ter-hadap nilai-nilai kesucian. Tidak heran jika Ulil Abshor mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab yang diserap oleh kaum Muslimin non Arab. Sebenarnya tidak wajib seorang wanita Muslimah berjilbab.
Fungsi Media Masa Bagi Agama
Islam mengajarkan bahwa loyalitas (ikatan) haruslah didasarkan atas landasan aqidah dan iman. Artinya, siapa pun yang seaqidah dengan kita, maka ia saudara kita, baik satu bangsa dengan kita atau tidak. Islam tidak tidak mengenala faktor pemersatu selain ikatan iman dan islam.
Alloh berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damai-kanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Alloh supaya kamu mendapat rahmat.” Sedangkan paham sekuler meng-ajarkan bahwa loyalitas didasarkan pada kebangasaan. Artinya, aqidah apapun yang dianut oleh seseorang, baik Yahudi, Nasroni, Hindu, atau Budha, jika ia satu bangsa dengan kita maka ia saudara kita, satu rumpun dengan kita, memiliki hak-hak yang sama dengan kita, berhak untuk memimpin dan dipimpin. Inilah paham kebangsaan sekuler yang sangat ditentang oleh Islam. Tetapi paham seperti inilah yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan kita sejak SD sampai perguruan tinggi.
Bagaimana Cara Penjajah Menanamkan Sekularisme di Indonesia?
Di antara cara-cara utama yang dilakukan oleh penjajah dalam mena-namkan sekularisme di Indosesia adalah merubah siasat dari bentuk penjajahan militer kepada penjajahan pemikiran. Caranya ialah dengan mendidik dan mengkader putera-putera pribumi yang kelihatan berbakat untuk kemudian mereka jadikan kaki tangan mereka dalam mempertahankan kondisi yang non Islami. Dengan cara seperti ini, pemikiran-pemikiran sekuler yang mereka lontarkan lebih mudah diterima oleh masyarakat, karena mereka berbicara dengan bahasa kita sendiri, satu bangsa dengan kita bahkan mengaku satu agama dengan kita. Kenyataan menunjukkan, bahwa mereka (para kaki tangan penjajah itu) lebih berhasil dalam menanamkan paham sekuler dan melestarikan undang-undang warisan penjajah dibandingkan melalui jalan pemak-saan secara militer.
Ini adalah suatu strategi musuh-musuh Islam dalam menjauhkan umat dari syari’at Islam. Metode seperti ini ternyata masih terus mereka terapkan sampai saat ini.
Akibat Dari Penerapan Sekularisme
Akibat dari diterapkannya paham yang merusak ini sangat banyak. Di antaranya ialah:
1. Gaya hidup generasai Islam ter-lepas dari ikatan akhlak dan nilai-nilai Islam. Pola hidup mereka mulai mengarah kebarat-baratan, baik dalam suluk ((perilaku), adat istiadat dan budaya.
2. Bebasnya kelompok-keompok sesat menyerukan paham-paham mereka.
3. Tersebarnya berbagai macam kemungkaran dan kerusakan moral disetiap tempat. Mulai dari kota sampai ke desa-desa terpencil.
4. Turunnya laknat Alloh akibat dari menjamurnya dosa-dosa dan kemaksiatan. Sebagian dari hu-kuman-Nya berupa datangnya berbagai bencana alam yang merenggut banyak korban, seperti gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya. (Admin-HASMI).
Fungsi Media Masa Pada Moraljiwa Dan Agama Bagi Kita
‘’’’’’’’’’’’’’
Fungsi Media Masa Bagi Ekonomi
Perekonomian yang telah mengalami perkembangan pesat dalam tiga dekade terakhir tidak lepas dari adanya liberalisasi perekonomian di banyak negara. Banyak negara yang melakukan perdagangan-perdagangan bebas baik dalam skala bilateral maupun multilateral.
Perekonomian dalam sektor keuangan juga menjadi sangat terintegrasi. Namun, kondisi tersebut membuat frekuensi krisis ekonomi semakin banyak. Kaminsky dan Reinhart (1999) menyatakan bahwa intensitas krisis keuangan lebih banyak setelah banyak negara melakukan liberalisasi keuangan di tahun 1980an.
Selain itu seiring dengan tingginya globalisasi, demokrasi menjadi banyak diterima di banyak negara. Demokrasi tersebut melahirkan adanya kebebasan dalam berpendapat, terutama kebebasan media massa. Dengan didukung dengan teknologi yang juga semakin berkembang, peran media massa menjadi semakin vital dalam menyediakan dan menyampaikan informasi.
Dalam artikel ini akan dijelaskan tentang peran media massa di dalam krisis ekonomi. Setidaknya di dalam artikel ini akan menjawab tiga pertanyaan penting: Apakah semakin majunya dan cepatnya media massa dalam menyampaikan informasi turut mempercepat krisis ekonomi? Apakah krisis ekonomi dapat disebabkan oleh media massa itu sendiri? Dan bagaimanakah peran media massa di dalam upaya pemulihan ekonomi?
Setelah membahas tentang peran media massa dalam perekonomian dan krisis finansial global 2008, selanjutnya adalah mencari kaitan antara peran media massa tersebut di dalam krisis finansial global. Dari berbagai informasi yang disajikan oleh media massa terdapat informasi yang sifatnya lebih spekulatif, jauh dari pendugaan emipiris atau lainnya, yang dikenal dengan rumor.
Dalam krisis finansial 2008 terdapat beberapa faktor yang mengaitkan antara peran media dan krisis itu sendiri. Pertama pemberitaan yang dilakukan secara gencar oleh media (khusunya televisi dan internet), terutama setelah kolapsnya Lehman Brothers membuat para investor panik. Bursa-bursa saham global mengalami tekanan aksi jual.nurunan indeks yang lebih dalam.
.
Analisis wacana prosedural.
Wacana prosedural merupakan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak balik unsur, karena urgensi unsur yang lebih dahulu menjadi landasan unsur berikutnya.
Pada contoh koran wacana prosedural diatas yaitu dapat melukiskan sesuatu yang unsurnya tidak dibolak balik seperti pada conth”ayam cah jamur”
Ayam Cah jamur, masakan yang lezat khas dengan rasa jamurnya,..
Ayam Cah jamur cocok disajikan dengan sambal bawang putih…ehmmm
Bahan:
Ayam dada 1 buah potong tipis-tipis.
Jamur kalengan, potong menjadi dua bagian.
Daun bawang 2 buah iris 1 cm bawang putih 3 bh haluslkan.
Air 200cc
Kecap asin 1 sdm
Kecap ikan 1 sdm
Garam dan gula, mericak secukupnya.
Tepung sagu 1 sdm di larutkan dengan air.
Cara memasak
Bumbui potongan ayam dengan kecap asin, garam, merica, duiamkan dulu selama 1 jam.
Tumis bawang putih sampai harum masukan sedikit garam aduk potongan ayam sampai beruba warnah masukan jamur dan beri air,biarkan didih, beri bumbu kecap asin, kecap ikan, gula,merica.
Setelah semua matang dan sedap rasanya kentalkan dengan larutan tepung sagu dan taburi daun bawang.
Sambal bawang putuh:
1 buah bawang putih dan 3 buah cabe merah cincang agak halus, berikan kecap asin 1 sdm dan kecap ikan 1 sdt.
Berdasarkan pemaparan pada wacana prosedural diatas berkesimpulan bahwa sala satu wacana pada berita koran Kendari Pos, edisi sabtu 12 juli 2008 yang berjudul ”ayam cah jamur”
WACANA BAHASA INDONESIA
(WACANA PROSEDURAL)
OLEH:
KELOMPOK III
Yusran la Bande (A1D3 09 143)
La Banara (A1D3 09 169)
Swisnawati (A1D3 09 134)
Sartika (A1D3 09 151)
Aswin (A1D3 09 124)
Rukima (A1D3 09 150)
Hastin Hadinda (A1D3 09 128)
Herman (A1D3 09 145)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
Wacana prosedural merupakan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak balik unsur, karena urgensi unsur yang lebih dahulu menjadi landasan unsur berikutnya.
Pada contoh koran wacana prosedural diatas yaitu dapat melukiskan sesuatu yang unsurnya tidak dibolak balik seperti pada conth”ayam cah jamur”
Ayam Cah jamur, masakan yang lezat khas dengan rasa jamurnya,..
Ayam Cah jamur cocok disajikan dengan sambal bawang putih…ehmmm
Bahan:
Ayam dada 1 buah potong tipis-tipis.
Jamur kalengan, potong menjadi dua bagian.
Daun bawang 2 buah iris 1 cm bawang putih 3 bh haluslkan.
Air 200cc
Kecap asin 1 sdm
Kecap ikan 1 sdm
Garam dan gula, mericak secukupnya.
Tepung sagu 1 sdm di larutkan dengan air.
Cara memasak
Bumbui potongan ayam dengan kecap asin, garam, merica, duiamkan dulu selama 1 jam.
Tumis bawang putih sampai harum masukan sedikit garam aduk potongan ayam sampai beruba warnah masukan jamur dan beri air,biarkan didih, beri bumbu kecap asin, kecap ikan, gula,merica.
Setelah semua matang dan sedap rasanya kentalkan dengan larutan tepung sagu dan taburi daun bawang.
Sambal bawang putuh:
1 buah bawang putih dan 3 buah cabe merah cincang agak halus, berikan kecap asin 1 sdm dan kecap ikan 1 sdt.
Berdasarkan pemaparan pada wacana prosedural diatas berkesimpulan bahwa sala satu wacana pada berita koran Kendari Pos, edisi sabtu 12 juli 2008 yang berjudul ”ayam cah jamur”
WACANA BAHASA INDONESIA
(WACANA PROSEDURAL)
OLEH:
KELOMPOK III
Yusran la Bande (A1D3 09 143)
La Banara (A1D3 09 169)
Swisnawati (A1D3 09 134)
Sartika (A1D3 09 151)
Aswin (A1D3 09 124)
Rukima (A1D3 09 150)
Hastin Hadinda (A1D3 09 128)
Herman (A1D3 09 145)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan yang mengandung zat
adiktif/berbahaya dan terlarang) belakangan ini amat populer di kalangan remaja
dan generasi muda bangsa Indonesia, sebab penyalahgunaan narkoba ini telah
merebak ke semua lingkungan, bukan hanya di kalangan anak-anak nakal dan preman
tetapi telah memasuki lingkungan kampus dan lingkungan terhormat lainnya.
Narkoba saat ini banyak kita jumpai di kalangan remaja dan generasi muda dalam
bentuk kapsul, tablet dan tepung seperti ekstasy, pil koplo dan shabu-shabu,
bahkan dalam bentuk yang amat sederhana seperti daun ganja yang dijual dalam
amplop-amplop.
Saat ini para orang tua, mulai dari ulama, guru/dosen,
pejabat, penegak hukum dan bahkan semua kalangan telah resah terhadap narkoba
ini, sebab generasi muda masa depan bangsa telah banyak terlibat di
dalamnya.Akibat leluasannya penjualan narkoba ini, secara umum mengakibatkan
timbulnya gangguan mental organik dan pergaulan bebas yang pada gilirannya
merusak masa depan bangsa.
B.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka permasalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah generasi muda dan
bahaya narkoba.
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui bahaya narkoba terhadap generasi muda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Generasi
Muda dan Narkoba
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di
kalangan generasi muda dewasa ini kian meningkat. Maraknya penyimpangan
perilaku generasi muda tersebut, dapat membahayakan keberlangsungan hidup
bangsa ini di kemudian hari. Karena pemuda sebagai generasi yang diharapkan
menjadi penerus bangsa, semakin hari semakin rapuh digerogoti zat-zat adiktif
penghancur syaraf. Sehingga pemuda tersebut tidak dapat berpikir jernih.
Akibatnya, generasi harapan bangsa yang tangguh dan cerdas hanya akan tinggal
kenangan.
Sasaran dari penyebaran narkoba ini adalah kaum muda
atau remaja. Kalau dirata-ratakan, usia sasaran narkoba ini adalah usia
pelajar, yaitu berkisar umur 11 sampai 24 tahun. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa bahaya narkoba sewaktu-waktu dapat mengincar anak didik kita kapan saja.
Ketergantungan obat dapat diartikan sebagai keadaan
yang mendorong seseorang untuk mengonsumsi obat-obat terlarang secara
berulang-ulang atau berkesinambungan. Apabila tidak melakukannya dia merasa
ketagihan (sakau) yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman bahkan perasaan
sakit yang sangat pada tubuh (Yusuf, 2004: 34).
B. Jenis narkoba dan Bahayanya bagi Generasi Muda
Nama-nama dan jenis narkoba serta bahayanya antara
lain:
1. Opium
Opium adalah jenis narkotika yang paling berbahaya.
Dikonsumsi dengan cara ditelan langsung atau diminum bersama teh, kopi atau
dihisap bersama rokok atau syisya (rokok ala Timur Tengah). Opium diperoleh
dari buah pohon opium yang belum matang dengan cara menyayatnya hingga
mengeluarkan getah putih yang lengket.
Pada mulanya, pengonsumsi opium akan merasa segar
bugar dan mampu berimajinasi dan berbicara, namun hal ini tidak bertahan lama.
Tak lama kemudian kondisi kejiwaannya akan mengalami gangguan dan berakhir
dengan tidur pulas bahkan koma.
2. Morphine
Orang yang mengonsumsi morphine akan merasakan
keringanan (kegesitan) dan kebugaran yang berkembang menjadi hasrat kuat untuk
terus mengonsumsinya. Dari sini, dosis pemakaian pun terus ditambah untuk
memperoleh ekstase (kenikmatan) yang sama.
Kecanduan bahan narkotika ini akan menyebabkan
pendarahan hidung (mimisan) dan muntah berulang-ulang. Pecandu juga akan
mengalami kelemahan seluruh tubuh, gangguan memahami sesuatu dan kekeringan
mulut. Penambahan dosis akan menimbulkan frustasi pada pusat pernafasan dan
penurunan tekanan darah. Kondisi ini bisa menyebabkan koma yang berujung pada
kematian.
3.
Heroin
Penikmatnya mula-mula akan merasa segar, ringan dan
ceria. Dia akan mengalami ketagihan seiring dengan konsumsi secara
berulang-ulang. Jika demikian, maka dia akan selalu membutuhkan dosis yang
lebih besar untuk menciptakan ekstase yang sama. Karena itu, dia pun harus
megap-megap untuk mendapatkannya, hingga tidak ada lagi keriangan maupun
keceriaan. Keinginannya hanya satu, memperoleh dosis yang lebih banyak untuk
melepaskan diri dari rasa sakit yang tak tertahankan dan pengerasan otot akibat
penghentian pemakaian.
Pecandu heroin lambat laun akan mengalami kelemahan
fisik yang cukup parah, kehilangan nafsu makan, insomnia (tidak bisa tidur) dan
terus dihantui mimpi buruk. Selain itu, para pecandu heroin juga menghadapi
sejumlah masalah seksual, seperti impotensi dan lemah syahwat. Sebuah data
statistik menyebutkan, angka penderita impotensi di kalangan pecandu heroin mencapai
40%.
4. Codeine
Codeine mengandung opium dalam kadar yang sedikit.
Senyawa ini digunakan dalam pembuatan obat batuk dan pereda sakit (nyeri).
Perusahaan-perusahaan farmasi telah bertekad mengurangi penggunaan codeine pada
obat batuk dan obat-obat pereda nyeri. Karena dalam beberapa kasus, meski
jarang, codeine bisa menimbulkan kecanduan.
5. Kokain
Penggunaan kokain dalam dosis tinggi menyebabkan
insomnia (sulit tidur), gemetar dan kejang-kejang (kram). Di sini, pecandu
merasa ada serangga yang merayap di bawah kulitnya. Pencernaannya pun
terganggu, biji matanya melebar, dan tekanan darahnya naik. Bahkan terkadang
bisa menyebabkan kematian mendadak.
6.
Amfitamine
Pengguna obat adiktif ini merasakan suatu ekstase dan
kegairahan, tidak mengantuk, dan memperoleh energi besar selama beberapa jam.
Namun setelah itu, ia tampak lesu disertai stres dan ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau perasaan kecewa sehingga mendorongnya untuk melakukan
tindak kekerasan dan kebrutalan.
Kecanduan obat adiktif ini juga menyebabkan degup
jantung mengencang dan ketidakmampuan berelaksasi, ditambah lemah seksual.
Bahkan dalam beberapa kasus menimbulkan perilaku seks menyimpang. Termasuk
derivasi (turunan) obat ini adalah obat yang disebut “captagon”. Obat ini
banyak dikonsumsi oleh para siswa selama musim ujian, padahal prosedur
penggunaannya sebenarnya sangat ketat dan hati-hati.
7. Ganja
Ganja memiliki sebutan yang jumlahnya mencapai lebih
dari 350 nama, sesuai dengan kawasan penanaman dan konsumsinya, antara lain;
mariyuana, hashish, dan hemp. Adapun zat terpenting yang terkandung dalam ganja
adalah zat trihidrocaniponal (THC).
Pemakai ganja merasakan suatu kondisi ekstase yang
disertai dengan tawa cekikikan dan terkekeh-kekeh tanpa justifikasi yang jelas.
Dia mengalami halusinasi pendengaran dan penglihatan. Berbeda dengan peminum
alkohol yang terkesan brutal dan berperilaku agresif, maka pemakai ganja
seringkali malah menjadi penakut.
Dia mengalami kesulitan mengenali bentuk dan ukuran
benda-benda yang terlihat. Pecandunya juga merasakan waktu berjalan begitu
lambat. Ingatannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu pun kacau-balau.
Matanya memerah dan degup jantungnya kencang. Jika berhenti mengonsumsi ganja,
dia akan merasa depresi, gelisah, menggigil dan susah tidur. Namun kecanduan ganja
biasanya mudah dilepaskan. Dalam jangka panjang, pecandu ganja akan kehilangan
gairah hidup. Menjadi malas, lemah ingatan, bodoh, tidak bisa berkonsentrasi
dan terdorong untuk melakukan kejahatan.
C. Akibat yang
ditimbulkan
Adapun akibat yang ditibbulkan oleh pecandu Narkoba
sesuai dengan tuntunan ajaran agama adala: Dampak dari penyalahgunaan narkoba
sudah terbukti pada generasi kita. Dapat terlihat kerusakan fisik seperti:
otak, jantung, paru-paru, saraf-saraf, selain juga gangguan mental, emosional
dan spiritual, akibat lebih lanjut adalah daya tahan tubuh lemah, virus mudah
masuk seperti virus Hepatitis C, virus HIV/AIDS. Oleh karena itu kita tidak
akan rela jika generasi muda kita mengalami penderitaan di atas.
Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini
Indonesia telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari
jaringan sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk
tujuan-tujuan komersial.3 Untuk jaringan peredaran narkotika di
negara-negara Asia, Indonesia diperhitungakan sebagai pasar (market-state)
yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasioanl yang
beroperasi di negara-negara sedang berkembang.
D. Cara
Penanggulangan Narkoba Pada Remaja
Upaya penanggulangan
penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Preventif
a.
Pendidikan Agama
sejak dini
b.
Pembinaan
kehidupan rumah tangga yang harmonis dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
c.
Menjalin
komunikasi yang konstruktif antara orang tua dan anak
d.
Orang tua
memberikan teladan yang baik kepada anak-anak.
e.
Anak-anak
diberikan pengetahuan sedini mungkin tentang narkoba, jenis, dan dampak
negatifnya
2. Tindakkan Hukum
Dukungan
semua pihak dalam pemberlakuan Undang-Undang dan peraturan disertai tindakkan
nyata demi keselamatan generasi muda penerus dan pewaris bangsa. Sayangnya KUHP
belum mengatur tentang penyalah gunaan narkoba, kecuali UU No :5/1997 tentang
Psikotropika dan UU no: 22/1997 tentang Narkotika. Tapi kenapa hingga saat ini
penyalah gunaan narkoba semakin meraja lela ? Mungkin kedua Undang-Undang
tersebut perlu di tinjau kembali relevansinya atau menerbitkan kembali
Undang-Undang yang baru yang mengatur tentang penyalahgunaan narkoba ini.
3. Rehabilitasi
Didirikan
pusat-pusat rehabilitasi berupa rumah sakit atau ruang rumah sakit secara khusus
untuk mereka yang telah menderita ketergantungan. Sehubungan dengan hal itu,
ada beberapa alternative penanggulangan yang dapat kami tawarkan :
a.
Mengingat
penyalah gunaan narkoba adalah masalah global, maka penanggulangannya harus
dilakukan melalui kerja sama international.
b.
Penanggulangan
secara nasional, yang teramat penting adalah pelaksanaan Hukum yang tidak
pandang bulu, tidak pilih kasih. Kemudian menanggulangi masalah narkoba harus
dilakukan secara terintegrasi antara aparat keamanan (Polisi, TNI AD, AL, AU )
hakim, jaksa, imigrasi, diknas, semua dinas/instansi mulai dari pusat hingga ke
daerah-daerah. Adanya ide tes urine dikalangan Pemda Kalteng adalah suatu ide
yang bagus dan perlu segera dilaksanakan. Barang siapa terindikasi mengkomsumsi
narkoba harus ditindak sesuai peraturan DIsiplin Pegawai Negri Sipil dan
peraturan yang mengatur tentang pemberhentian Pegawai Negri Sipil seperti
tertuang dalam buku pembinaan Pegawai Negri Sipil. Kemudian dikalangan Dinas
Pendidikan Nasional juga harus berani melakukan test urine kepada para siswa
SLTP-SLTA, dan barang siapa terindikasi positif narkoba agar dikeluarkan dari
sekolah dan disalurkan ke pusat rehabilitasi. Pihak Departemen Kesehatan
bekerjasama dengan POLRI untuk menerbitkan sebuah booklet yang berisikan
tentang berbagai hal yang terkait dengan narkoba. Misalnya apakah narkoba itu,
apa saja yang digolongkan kedalam narkoba, bahayanya, kenapa orang mengkomsumsi
narkoba, tanda- tanda yang harus diketahui pada orang- orang pemakai narkoba
cara melakukan upaya preventif terhadap narkoba. Disamping itu melakukan
penyuluhan ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan berbagai instansi tentang
bahaya dan dampak negative dari narkoba. Kerja sama dengan tokoh-tokoh agama
perlu dieffektifkan kembali untuk membina iman dan rohani para umatnya agar
dalam setiap kotbah para tokoh agama selalu mengingatkan tentang bahaya
narkoba.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah pencegahan penyalahgunaan
narkoba ialah mejadi tanggung jawab kita semua. Narkoba merupakan segolongan
obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh berpengaruh terutama pada
fungsi otak (susunan saraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan
(adiktif). Terjadi perubahan pada kesadaran, pikiran, perasaan, dan perilaku
pemakainya. Zat yang ditelan, masuk ke dalam lambung, lalu pembuluh darah. Jika
dihisap atau dihirup, zat masuk ke dalam pembuluh darah melalui hudung dan
paru-paru. Jika disuntikkan, zat langsung masuk ke darah. Darah membawa zat itu
ke dalam otak. Otak adalah pusat kendali tubuh. Jika kerja berubah, seluruh
organ tubuh pun ikut berpengaruh.
Kepedulian adalah sebuah bentuk
dari cinta dan kasih sayang kita sebagai manusia sosial yang berbudaya. Setiap
kita adalah nasihat bagi orang lain, dan begitupula sebaliknya. Kita semua mengakui
bahwa setiap orang tidak ada yang mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu dengan
sikap kepedulian itu akan membentuk kesempurnaan dengan cara saling melengkapi
satu sama lain.
Melalui
sikap kepedulian, pencegahan berbagai tindak kriminal, kenakalan remaja,
keamanan, kedamaian, keharmonisan, akan mudah diciptakan. Dengan sikap
kepedulian ini, maka motto bahwa, ”Pencegahan
lebih baik dari mengobati”, akan benar-benar terbukti dalam kasus pemakaian
obat-obat terlarang.
Pada tahap
awal kehidupan manusia agen sosialisasi pertama adalah keluarga. Oleh karena
itu, orang tua merupakan orang penting (significant
other) dalam sosialisasi. Guna mencegah terjerumusnya para penerus bangsa
tersebut ke dunia Narkoba, maka campur tangan dan tanggung jawab orang tua memegang
peranan penting di sini. Karena baik atau buruknya perilaku anak sangat
bergantung bagaimana orang tua menjadi teladan bagi putra-putrinya.
B. Saran
Di masyarakat ada 2 tipe dalam
mengasingkan pecandu, pertama orang yang tidak tahu dan orang yang tidak tahu
serta tidak mau peduli. Maka dari itu janganlah kita menjauhi para pecandu
narkoba karena itu akan membuat pecandu terjerumus lebih dalam karena merasa
kurang perhatian. Bagi para masyarakat jangan berfikir negatif tentang pecandu
narkoba, tetapi kita harus memberikan perhatian lebih sehingga para pecandu
tidak merasa diasingkan dan terbuang.
Bagi para pecandu coba bersikap terbuka
terhadap orang yang dia percaya (tepat) untuk mendapatkan respons yang baik.
Jangan berfikir “YOU CAN SOLVE THEM BY YOURSELF” dan jangan takut untuk menuju
perubahan. Intinya “DON’T BE AFFRAID TO SPEAK UP !!”.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi,
Luqman, 2008. Modul Dasar-Dasar
Sosiologi&Sosiologi KesehatanI. Jakarta: PSKM FKK UMJ.
Kartono, Kartini, 1992. Patologi II Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali.
Mangku,
Made Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, 2007. pecegahan Narkoba Sejak Usia Dini.
Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia.
Shadily,
Hassan, 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat
Indonesia. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Soekanto,
Suryono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persuda
Sofyan,
Ahmadi, 2007. Narkoba Mengincar Anak Anda
Panduan bagi Orang tua, Guru, dan Badan Narkotika dalam Penanggulangan Bahaya
Narkoba di Kalangan Remaja. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Sudarman,
Momon, 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Syani,
Abdul, 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. PT
DUNIA PUSTAKA JAYA.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
STANDAR KOMPETENSI
Membaca : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
KOMPETENSI DASAR
Menentukan unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik hikayat
INDIKATOR
Kognitif
proses
Menemukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Produk
Menentukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Psikomotor
Menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri
Afektif
Karakter
tanggung jawab
tekun
kreatif
kritis
disiplin
Keterampilan sosial
Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar
Menyumbang ide
Membantu teman yang mengalami kesulitan
TUJUAN PEMBELAJARAN
Kognitif
Proses
Setelah membaca dan memahami isi hikayat, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
Menemukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Produk
Setelah menemukan hasil pencapaian tujuan proses di atas, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
Menentukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Psikomotor
Setelah menentukan dan memahami hasil pencapaian tujuan produk di atas, siswa secara mandiri diharapkan dapat
menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri
Afektif
Karakter
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan dalam berperilaku yang meliputi sikap
tanggung jawab
tekun
kreatif
kritis
disiplin
Keterampilan sosial
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan kecakapan sosial yang meliputi
Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar
Menyumbang ide
Membantu teman yang mengalami kesulitan
MATERI PEMBELAJARAN
Pengertian Hikayat
karateristik Hikayat
Naskah hikayat
tema
alur
penokohan
latar
amanat
MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN
Pendekatan: Pembelajaran Kontekstual
Model Pembelajaran: Kooperatif Tipe STAD
Metode: tanya jawab, pemodelan, penugasan, dan unjuk kerja
BAHAN DAN MEDIA
Naskah hikayat
LKS
Kertas HVS
ALAT
Spidol
Format evaluasi
Pedoman penilaian dan penskoran
SKENARIO PEMBELAJARAN
No.
Kegiatam Penilaian Pengamat
1 2 3 4
PERTEMUAN I (80 menit)
A1 Kegiatan Awal (15):
Tahap 1 (5 menit): Membaca doa dan mengecek kehadiran siswa. Pemancingan dengan mula-mula menanyakan kesiapan belajar siswa, lalu menanyakan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang hikayat.
Tahap 2 (10 menit): Pengarahan dengan mula-mula bertanya jawab tentang unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dalam hal ini hikayat, kemudian diakhiri dengan penegasan guru tentang tujuan pembelajaran yang harus dicapai dalam proses pembelajaran pada pertemuan itu.
B1 Kegiatan Inti (55 menit):
(55 menit): guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, kemudian memberikan pemahaman kepada siswa mengenai unsur-unsur yang membangun sebuah hikayat, baik unsur yang membangun dari dalam (instrinsik) maupun unsur yang membangun dari luar (ekstrinsik)
C1 Kegiatan Akhir (10 menit)
Siswa bersama guru merumuskan kesimpulan umum atas semua butir pembelajaran yang telah dilaksanakan;
Siswa diminta menyampaikan kesan dan saran (jika ada) terhadap proses pembelajaran yang baru selesai mereka ikuti;
Guru menugaskan siswa untuk mencari naskah hikayat yang akan mereka tentukan unsur instrinsik dan ekstrinsiknya
SUMBER PEMBELAJARAN
Naskah hikayat
Materi Essensial MGMP Sekolah
Lembar Pegangan Guru
LKS 1 ; LKS 2
LP 1 ; LP 2
Silabus
EVALUASI DAN PENILAIAN
1. Evaluasi
Evaluasi Proses: dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas peserta (siswa) dalam menggarap tugas, diskusi, kegiatan tanya jawab, dan dialog informal.
Evaluasi Hasil: dilakukan berdasarkan analisis hasil pengerjaan tugas dan pengerjaan tes, dan pengamatan unjuk keterampilan (performance)
2. Penilaian
a. Jenis Tagihan Penilaian: LKS 1 dan LP 1, LKS 2 dan LP 2, , LP 4, LP 5
Tugas Individu: menggunakan LKS 3 ; LP 3
Bentuk Instrumen Penilaian:
Uraian bebas
Jawaban singkat
Lembar pengamatan (Jurnal)
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI/I
Standar Kompetensi : Membaca
Kompetensi Dasar : Menemukan unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik hikayat
LEMBAR PEGANGAN GURU
(LPG)
Pengertian Hikayat
Hikayat adalah karya sastra melayu lama yang berbentuk prosa yang berisi cerita undang-undang, silsilah raja-raja, agama sejarah, biografi atau gabungan dari semuanya.
Karakteristik Hikayat :
Berbahasa Klise (Biasanya diawali: Syahdan, Pada suatu hari, Alkisah)
Menggunakan bahasa melayu klasik
Bersifat komunal, yaitu menjadi milik bersama
Bersifat anonim
Bersifat pralogis atau irasional, yaitu kejadiannya tidak sesuai kenyataan.
Bersifat istana sentris, yaitu ceritanya kebanyakan mengisahkan kehidupan istana raja-raja.
Bersifat didaktis, yaitu memberikan pengajaran atau pendidikan.
Disampaikan secara lisan
UNSUR-UNSUR INSTRINSIK HIKAYAT
Unsur-unsur instrinsik hikayat adalah unsur-unsur pembangunan struktur yang ada di dalam hikayat itu sendiri. Unsur-unsur instrinsik hikayat ada 5 yakni :
1. tema 4. latar
2. alur 5. amanat
3. penokohan
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, yudi (dkk). 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan
LEMBAR PENILAIAN
LP 1 : KOGNITIF PROSES
Pedoman Penskoran LKS 1
No. Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor
x Bobot Catatan
1. Menemukan unsur insrinsik dalam hikayat a.Dapat menemukan semua unsur instrinsik dalam hikayat.
b.Dapat menemukan hanya beberapa unsur instrinsik dalam hikayat.
c.Tidak dapat menemukan unsur instrinsik dalam hikayat. 2
1
0 5
2. Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini a. Dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini
b. Dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat tetapi tidak dihubungkan dengan nilai masa kini
c. Tidak menemukan nilai-nilai.
2
1
0 5
Jumlah
Catatan : 0 = Sangat kurang 1 = kurang 2 = baik
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum) X 100
LP 2 : KOGNITIF PRODUK
Pedoman Penskoran LKS 2
No. Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor
x Bobot Catatan
1. Menentukan unsur insrinsik dalam hikayat a.Dapat menentukan semua unsur instrinsik dalam hikayat.
b.Dapat menentukan hanya beberapa unsur instrinsik dalam hikayat.
c.Tidak dapat menentukan unsur instrinsik dalam hikayat. 2
1
0 5
2. Menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini a. Dapat menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini
b. Dapat menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat tetapi tidak dihubungkan dengan nilai masa kini
c.Tidak menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat.
2
1
0 5
Jumlah
Catatan : 0 = Sangat kurang 1 = kurang 2 = baik
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum) X 100
LP 3 = Psikomotor
Pedoman Penskoran LKS 3
No. Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor
x Bobot Catatan
1. Menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri
a.Dapat menceritakan isi hikayat secara keseluruhan.
b.Dapat menceritakan sebagian besar isi hikayat.
c.Hanya dapat menceritakan sebagian kecil isi hikayat.
d.Tidak mampu bercerita. 3
2
1
0 5
Jumlah
Catatan : 0 = Sangat kurang 1 = kurang 2 = cukup baik 3 = baik
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum) X 100
LP 4 = Afektif : Perilaku Berkarakter
Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik B = memuaskan
C = Cukup baik D = kurang baik
Format Pengamatan Perilaku Berkarakter
No. Rincian tugas kinerja Memerlukan perbaikan
(D) Menunjukkan kemajuan
(C) Memuaskan
(B) Sangat baik
(A)
1 Tanggung jawab
2 Tekun
3 Kreatif
4 Kritis
5 Disiplin
Hari/Tanggal :
Guru/Pengamat
(…………………..)
LP 5 = Afektif : Perilaku Keterampilan Sosial
Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik B = memuaskan
C = Cukup baik D = kurang baik
Format Pengamatan Keterampilan Sosial
No. Rincian tugas kinerja Memerlukan perbaikan
(D) Menunjukkan kemajuan
(C) Memuaskan
(B) Sangat baik
(A)
1 Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar
2 Menyumbang ide
3 Membantu teman yang kesulitan
Hari/Tanggal :
Guru/Pengamat
(…………………..)
MEDIA PEMBELAJARAN
Contoh Hikayat :
Hkayat Raja-Raja pasai
I
Pemberian Nama Samudera
Maka tersebutlah perkataaan merah silu (diam) di rimbah jerau itu. Sekali peristiwa pada suatu hari Merah Silu pergi berburu. Ada seekor anjing yang dibawanya akan berburuh Merah Silu itu, bernama si Pasai. Dilepaskannya anjing itu. lalu, ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Dilihatnya ada seekor semut, besarnya seperti kucing. Ditangkapnya oleh Merah Silu semut itu, lalu dimakannya. Tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Setelah itu, diperbuatnya akan istananya. Setelah itu, Merah Silu pun duduklah ia di sana; dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia disana. Dinama oleh MerahSilu negeri itu samudera, artinya semut yang amat besar(= raja); di sanalah ia diam raja itu
II
Pembangunan Negeri Pasaingan
Kata sahib al-hikayat: Pada suatu hari, Sultan Malik as-Saleh pergi bermain-main berburuh dengan segala laskarnya ke tepi laut. Dibawanya seekor anjing perburuan bernama si Pasai itu. Tatkalah sampai baginda itu ke tepi laut, disuruhnya lepaskan anjing perburuan itu. Lalu, ia masuklah ke dalam hutan yang di tepi lautan itu. Bertemu ia dengan seekor pelanduk duduk di atas pada suatu tanah yang tinggi. Disalaknya oleh anjing itu hendak ditangkapnya. Tatkala dilihat oleh pelanduk anjing itu mendapatkan dia, disalakannya anjing itu oleh palanduk. anjing itupun undur, lalu pelanduk kembali pula pada tempatnya. Dilihat oleh anjing, pelanduk itu kembali pada tempatnya. Didapatkannya pelanduk itu oleh anjing, lalu ia berdakap-dakapan kira-kira tujuh kali.
Heranlah Baginda melihat hal kelakuan anjing dengan pelanduk itu. Masuklah Banginda sendirinya hendak menangkap pelanduk itu ke atas tanah tinggi itu. Pelanduk pun lari; didakapnya juga oleh anjing itu. Sabda Baginda kepada segala orang yang ada bersama-sama dengan dia itu :
“Adakah pernahnya kamu melihat pelanduk yang gagah sebagai ini? Pada bicaraku sebab karena ia diam pada tempat ini, itulah rupanya, maka pelanduk itu menjadi gagah.”Sembah mereka itu sekalian: “sebenarnyalah sperti sabda Yang Maha Mulia itu”. Pikirlah Baginda itu:
“Baik tempat ini kuperbuat negri anakku Sultan Malik at-Tahir kerajaan”. Sultan Malik as-Saleh pun kembalilah ke istananya. Pada keesokan harinya Bagindah pun member titah kepada segala menteri dan hulubalang rakyat tentera, sekalian menyuruh menebus tanah akan tempat negeri, masing-masing pada kuasanya dan disuruh Baginda perbuat istana pada tempat tanah tinggi itu.Sultan Malik as-Saleh pun pikir di dalam hatinya, hendak berbuat negeri tempat ananda baginda. Titah Sultan Malik as-Saleh pada segala orang besar:
“Esok hari kita hendak pergi berburu” Telah pagi-pagi hari, Sultan Malik as-Saleh pun berangkat naik gajah yang bernama Perma Dewana. Lalu berjalan ke seberang datang ke pantai. Anjing yang bernama si Pasai itupun menyalak. Sultan Malik as-Salehpun segera mendapatkan anjing itu. Dilihatnya yang disalaknya itu tanah tinggi, sekira-kira seluas tempat istana dengan kelengkapan, terlalu amat baik, seperi tempat ditambak rupanya. Oleh Sultan Malik as-Saleh tanah tinggi itu disuruh oleh baginda tebus. Diperbuatnya negeri kepada tempat itu dan diperbuatnya istana. Dinamainya Pasai menurut nama anjing itu. Ananda baginda Sultan Malik at-Tahir dirayakan oleh baginda di Pasai itu.
III
Peminangan Seorang Sultan dan Perkawinananya
Kemudian dari itu, Sultan Malik as-Saleh menyuruhkan sidi ‘Ali Ghijas ad-Din ke negeri perlak meminang anak raja perlak. Adapun raja perlak itu beranak tiga orang anak perempuan, dan yang dua orang itu anak gehara, dan seorang anak gundik, puteri ganggang namanya. Telah Sidih ‘ Ali Ghijas ad-Din dating ke perlak, ketiga ananda itu ditunjukkannya kepada Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din. Adapun puteri yang dua bersaudara itu duduk di bawah, anaknya puteri ganggang itu didudukkan di atas tempat yang tinggi, disuruhnya mengupas pinang. Dan akan saudaranya kedua itu berkaitan warna bunga air mawar dan berbaju bunga warna jambu, bersubang lontar muda, terlalu baik parasnya. Sembah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din kepada Raja perlak.“ananda yang duduk di atas, itulah pohonkan akan paduka ananda tu”. Tetapi Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din tiada tahu akan puteri ganggang itu anak gundik Raja perlak. Maka Raja perlakpun tertawa gelak-gelak, seraya katanya:
“Baiklah, yang mana kehendak anakku”.
Kendari, Desember 2011
Guru Pamong Mahasiswa KKP
HARLINA, S.Pd A R I S
NIP 197605292007012012 A1D1 07 105
Mengetahui,
Kepala SMA Kartika VII-2 Kendari
Drs. H. NP. DAHLAN
(RPP)
STANDAR KOMPETENSI
Membaca : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
KOMPETENSI DASAR
Menentukan unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik hikayat
INDIKATOR
Kognitif
proses
Menemukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Produk
Menentukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Psikomotor
Menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri
Afektif
Karakter
tanggung jawab
tekun
kreatif
kritis
disiplin
Keterampilan sosial
Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar
Menyumbang ide
Membantu teman yang mengalami kesulitan
TUJUAN PEMBELAJARAN
Kognitif
Proses
Setelah membaca dan memahami isi hikayat, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
Menemukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Produk
Setelah menemukan hasil pencapaian tujuan proses di atas, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
Menentukan unsur-unsur instrinsik (alur, tema, penokohan, latar, dan amanat) dalam hikayat.
Menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian hubungkan dengan nilai-nilai masa kini
Psikomotor
Setelah menentukan dan memahami hasil pencapaian tujuan produk di atas, siswa secara mandiri diharapkan dapat
menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri
Afektif
Karakter
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan dalam berperilaku yang meliputi sikap
tanggung jawab
tekun
kreatif
kritis
disiplin
Keterampilan sosial
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan kecakapan sosial yang meliputi
Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar
Menyumbang ide
Membantu teman yang mengalami kesulitan
MATERI PEMBELAJARAN
Pengertian Hikayat
karateristik Hikayat
Naskah hikayat
tema
alur
penokohan
latar
amanat
MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN
Pendekatan: Pembelajaran Kontekstual
Model Pembelajaran: Kooperatif Tipe STAD
Metode: tanya jawab, pemodelan, penugasan, dan unjuk kerja
BAHAN DAN MEDIA
Naskah hikayat
LKS
Kertas HVS
ALAT
Spidol
Format evaluasi
Pedoman penilaian dan penskoran
SKENARIO PEMBELAJARAN
No.
Kegiatam Penilaian Pengamat
1 2 3 4
PERTEMUAN I (80 menit)
A1 Kegiatan Awal (15):
Tahap 1 (5 menit): Membaca doa dan mengecek kehadiran siswa. Pemancingan dengan mula-mula menanyakan kesiapan belajar siswa, lalu menanyakan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang hikayat.
Tahap 2 (10 menit): Pengarahan dengan mula-mula bertanya jawab tentang unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dalam hal ini hikayat, kemudian diakhiri dengan penegasan guru tentang tujuan pembelajaran yang harus dicapai dalam proses pembelajaran pada pertemuan itu.
B1 Kegiatan Inti (55 menit):
(55 menit): guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, kemudian memberikan pemahaman kepada siswa mengenai unsur-unsur yang membangun sebuah hikayat, baik unsur yang membangun dari dalam (instrinsik) maupun unsur yang membangun dari luar (ekstrinsik)
C1 Kegiatan Akhir (10 menit)
Siswa bersama guru merumuskan kesimpulan umum atas semua butir pembelajaran yang telah dilaksanakan;
Siswa diminta menyampaikan kesan dan saran (jika ada) terhadap proses pembelajaran yang baru selesai mereka ikuti;
Guru menugaskan siswa untuk mencari naskah hikayat yang akan mereka tentukan unsur instrinsik dan ekstrinsiknya
SUMBER PEMBELAJARAN
Naskah hikayat
Materi Essensial MGMP Sekolah
Lembar Pegangan Guru
LKS 1 ; LKS 2
LP 1 ; LP 2
Silabus
EVALUASI DAN PENILAIAN
1. Evaluasi
Evaluasi Proses: dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas peserta (siswa) dalam menggarap tugas, diskusi, kegiatan tanya jawab, dan dialog informal.
Evaluasi Hasil: dilakukan berdasarkan analisis hasil pengerjaan tugas dan pengerjaan tes, dan pengamatan unjuk keterampilan (performance)
2. Penilaian
a. Jenis Tagihan Penilaian: LKS 1 dan LP 1, LKS 2 dan LP 2, , LP 4, LP 5
Tugas Individu: menggunakan LKS 3 ; LP 3
Bentuk Instrumen Penilaian:
Uraian bebas
Jawaban singkat
Lembar pengamatan (Jurnal)
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI/I
Standar Kompetensi : Membaca
Kompetensi Dasar : Menemukan unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik hikayat
LEMBAR PEGANGAN GURU
(LPG)
Pengertian Hikayat
Hikayat adalah karya sastra melayu lama yang berbentuk prosa yang berisi cerita undang-undang, silsilah raja-raja, agama sejarah, biografi atau gabungan dari semuanya.
Karakteristik Hikayat :
Berbahasa Klise (Biasanya diawali: Syahdan, Pada suatu hari, Alkisah)
Menggunakan bahasa melayu klasik
Bersifat komunal, yaitu menjadi milik bersama
Bersifat anonim
Bersifat pralogis atau irasional, yaitu kejadiannya tidak sesuai kenyataan.
Bersifat istana sentris, yaitu ceritanya kebanyakan mengisahkan kehidupan istana raja-raja.
Bersifat didaktis, yaitu memberikan pengajaran atau pendidikan.
Disampaikan secara lisan
UNSUR-UNSUR INSTRINSIK HIKAYAT
Unsur-unsur instrinsik hikayat adalah unsur-unsur pembangunan struktur yang ada di dalam hikayat itu sendiri. Unsur-unsur instrinsik hikayat ada 5 yakni :
1. tema 4. latar
2. alur 5. amanat
3. penokohan
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, yudi (dkk). 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan
LEMBAR PENILAIAN
LP 1 : KOGNITIF PROSES
Pedoman Penskoran LKS 1
No. Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor
x Bobot Catatan
1. Menemukan unsur insrinsik dalam hikayat a.Dapat menemukan semua unsur instrinsik dalam hikayat.
b.Dapat menemukan hanya beberapa unsur instrinsik dalam hikayat.
c.Tidak dapat menemukan unsur instrinsik dalam hikayat. 2
1
0 5
2. Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini a. Dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini
b. Dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat tetapi tidak dihubungkan dengan nilai masa kini
c. Tidak menemukan nilai-nilai.
2
1
0 5
Jumlah
Catatan : 0 = Sangat kurang 1 = kurang 2 = baik
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum) X 100
LP 2 : KOGNITIF PRODUK
Pedoman Penskoran LKS 2
No. Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor
x Bobot Catatan
1. Menentukan unsur insrinsik dalam hikayat a.Dapat menentukan semua unsur instrinsik dalam hikayat.
b.Dapat menentukan hanya beberapa unsur instrinsik dalam hikayat.
c.Tidak dapat menentukan unsur instrinsik dalam hikayat. 2
1
0 5
2. Menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini a. Dapat menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat kemudian dihubungkan dengan nilai masa kini
b. Dapat menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat tetapi tidak dihubungkan dengan nilai masa kini
c.Tidak menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat.
2
1
0 5
Jumlah
Catatan : 0 = Sangat kurang 1 = kurang 2 = baik
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum) X 100
LP 3 = Psikomotor
Pedoman Penskoran LKS 3
No. Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor
x Bobot Catatan
1. Menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri
a.Dapat menceritakan isi hikayat secara keseluruhan.
b.Dapat menceritakan sebagian besar isi hikayat.
c.Hanya dapat menceritakan sebagian kecil isi hikayat.
d.Tidak mampu bercerita. 3
2
1
0 5
Jumlah
Catatan : 0 = Sangat kurang 1 = kurang 2 = cukup baik 3 = baik
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum) X 100
LP 4 = Afektif : Perilaku Berkarakter
Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik B = memuaskan
C = Cukup baik D = kurang baik
Format Pengamatan Perilaku Berkarakter
No. Rincian tugas kinerja Memerlukan perbaikan
(D) Menunjukkan kemajuan
(C) Memuaskan
(B) Sangat baik
(A)
1 Tanggung jawab
2 Tekun
3 Kreatif
4 Kritis
5 Disiplin
Hari/Tanggal :
Guru/Pengamat
(…………………..)
LP 5 = Afektif : Perilaku Keterampilan Sosial
Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik B = memuaskan
C = Cukup baik D = kurang baik
Format Pengamatan Keterampilan Sosial
No. Rincian tugas kinerja Memerlukan perbaikan
(D) Menunjukkan kemajuan
(C) Memuaskan
(B) Sangat baik
(A)
1 Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar
2 Menyumbang ide
3 Membantu teman yang kesulitan
Hari/Tanggal :
Guru/Pengamat
(…………………..)
MEDIA PEMBELAJARAN
Contoh Hikayat :
Hkayat Raja-Raja pasai
I
Pemberian Nama Samudera
Maka tersebutlah perkataaan merah silu (diam) di rimbah jerau itu. Sekali peristiwa pada suatu hari Merah Silu pergi berburu. Ada seekor anjing yang dibawanya akan berburuh Merah Silu itu, bernama si Pasai. Dilepaskannya anjing itu. lalu, ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Dilihatnya ada seekor semut, besarnya seperti kucing. Ditangkapnya oleh Merah Silu semut itu, lalu dimakannya. Tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Setelah itu, diperbuatnya akan istananya. Setelah itu, Merah Silu pun duduklah ia di sana; dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia disana. Dinama oleh MerahSilu negeri itu samudera, artinya semut yang amat besar(= raja); di sanalah ia diam raja itu
II
Pembangunan Negeri Pasaingan
Kata sahib al-hikayat: Pada suatu hari, Sultan Malik as-Saleh pergi bermain-main berburuh dengan segala laskarnya ke tepi laut. Dibawanya seekor anjing perburuan bernama si Pasai itu. Tatkalah sampai baginda itu ke tepi laut, disuruhnya lepaskan anjing perburuan itu. Lalu, ia masuklah ke dalam hutan yang di tepi lautan itu. Bertemu ia dengan seekor pelanduk duduk di atas pada suatu tanah yang tinggi. Disalaknya oleh anjing itu hendak ditangkapnya. Tatkala dilihat oleh pelanduk anjing itu mendapatkan dia, disalakannya anjing itu oleh palanduk. anjing itupun undur, lalu pelanduk kembali pula pada tempatnya. Dilihat oleh anjing, pelanduk itu kembali pada tempatnya. Didapatkannya pelanduk itu oleh anjing, lalu ia berdakap-dakapan kira-kira tujuh kali.
Heranlah Baginda melihat hal kelakuan anjing dengan pelanduk itu. Masuklah Banginda sendirinya hendak menangkap pelanduk itu ke atas tanah tinggi itu. Pelanduk pun lari; didakapnya juga oleh anjing itu. Sabda Baginda kepada segala orang yang ada bersama-sama dengan dia itu :
“Adakah pernahnya kamu melihat pelanduk yang gagah sebagai ini? Pada bicaraku sebab karena ia diam pada tempat ini, itulah rupanya, maka pelanduk itu menjadi gagah.”Sembah mereka itu sekalian: “sebenarnyalah sperti sabda Yang Maha Mulia itu”. Pikirlah Baginda itu:
“Baik tempat ini kuperbuat negri anakku Sultan Malik at-Tahir kerajaan”. Sultan Malik as-Saleh pun kembalilah ke istananya. Pada keesokan harinya Bagindah pun member titah kepada segala menteri dan hulubalang rakyat tentera, sekalian menyuruh menebus tanah akan tempat negeri, masing-masing pada kuasanya dan disuruh Baginda perbuat istana pada tempat tanah tinggi itu.Sultan Malik as-Saleh pun pikir di dalam hatinya, hendak berbuat negeri tempat ananda baginda. Titah Sultan Malik as-Saleh pada segala orang besar:
“Esok hari kita hendak pergi berburu” Telah pagi-pagi hari, Sultan Malik as-Saleh pun berangkat naik gajah yang bernama Perma Dewana. Lalu berjalan ke seberang datang ke pantai. Anjing yang bernama si Pasai itupun menyalak. Sultan Malik as-Salehpun segera mendapatkan anjing itu. Dilihatnya yang disalaknya itu tanah tinggi, sekira-kira seluas tempat istana dengan kelengkapan, terlalu amat baik, seperi tempat ditambak rupanya. Oleh Sultan Malik as-Saleh tanah tinggi itu disuruh oleh baginda tebus. Diperbuatnya negeri kepada tempat itu dan diperbuatnya istana. Dinamainya Pasai menurut nama anjing itu. Ananda baginda Sultan Malik at-Tahir dirayakan oleh baginda di Pasai itu.
III
Peminangan Seorang Sultan dan Perkawinananya
Kemudian dari itu, Sultan Malik as-Saleh menyuruhkan sidi ‘Ali Ghijas ad-Din ke negeri perlak meminang anak raja perlak. Adapun raja perlak itu beranak tiga orang anak perempuan, dan yang dua orang itu anak gehara, dan seorang anak gundik, puteri ganggang namanya. Telah Sidih ‘ Ali Ghijas ad-Din dating ke perlak, ketiga ananda itu ditunjukkannya kepada Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din. Adapun puteri yang dua bersaudara itu duduk di bawah, anaknya puteri ganggang itu didudukkan di atas tempat yang tinggi, disuruhnya mengupas pinang. Dan akan saudaranya kedua itu berkaitan warna bunga air mawar dan berbaju bunga warna jambu, bersubang lontar muda, terlalu baik parasnya. Sembah Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din kepada Raja perlak.“ananda yang duduk di atas, itulah pohonkan akan paduka ananda tu”. Tetapi Sidi ‘Ali Ghijas ad-Din tiada tahu akan puteri ganggang itu anak gundik Raja perlak. Maka Raja perlakpun tertawa gelak-gelak, seraya katanya:
“Baiklah, yang mana kehendak anakku”.
Kendari, Desember 2011
Guru Pamong Mahasiswa KKP
HARLINA, S.Pd A R I S
NIP 197605292007012012 A1D1 07 105
Mengetahui,
Kepala SMA Kartika VII-2 Kendari
Drs. H. NP. DAHLAN
USULAN PROPOSAL PENELITIAN
TRADISI LISAN KABHANTI KUSAPI PADA MASYARAKAT ETNIK MUNA
DI KECAMATAN LAWA KABUPATEN MUNA
SULAWESI TENGGARA
OLEH
LA BANARA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan. Lord (1995: 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya tetapi melisankannya, dan penerima tidak membacanya, namun mendengar. Senada dengan itu, Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008: 258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, atau amalan, di antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan permainan. Tradisi lisan kabhanti Kusapi merupakan salah satu kebudayaan daerah yang perlu dibina dan dilestarikan karena sastra daerah ini semakin kurang dikenal oleh masyarakat pendukungnya dan terancam punah maka perlu mendapat perhatian serius. Sejalan dengan perkembangan zaman yang kompetitif yang dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur budaya dalam masyarakat hal ini perlu disadari oleh warga negara bahwa tradisi lisan yang tersebar diberbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Arus informasi yang serba canggih telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut simpati generasi muda, akibatnya tradisi lisan yang merupakan warisan leluhur terabaikan begitu saja. Di samping itu penyebrannya bersifat lisan tanpa dokumen tertulis dan penutur setia semakin berkurang menjadikan tradisi lisan terancam punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka sastra tersebut lambat laun akan punah sama sekali. Padahal dalam tradisi lisan itu tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kabhanti Kusapi merupakan salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Muna yang biasa disampaikan dalam balas pantun dengan cara berkelompok misalnya terdiri dari kelompok laki-laki dan perempuan atau juga dalam bentuk monolog (perorangan). Seni tradisi lisan ini disampaikan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengemukakan serta menyampaikan maksud tertentu baik yang berisi sindiran, nasehat, maupun percintaan. Bagi masyarakat pendukungnya kabhanti Kusapi tersebut dibawakan dengan cara dilantunkan atau dinyanyikan dan biasanya diiringi alat musik gambus yang biasa dilaksanakan atau disajikan pada acara pesta kampung misalnya pernikahan, khitanan, dan jenis kegiatan lain yang ada dalam masyarakat Muna. Kabhanti Kusapi sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Muna yang banyak mengandung nilai budaya, norma-norma sosial dan mengandung nilai estetika dan moral dari masyarakat pendukungnya. Di samping itu kabhanti Kusapi dapat berguna untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang banyak digunakan oleh orang-orang tua dalam mendidik anak-anak dan juga dapat digunakan oleh pemuda dan pemudi dalam hal mencurahkan isi hatinya kepada seseorang seperti menyatakan cinta kasih, suka duka, kerinduan dan kekecewaan. Namun keberadaan tradisi lisan kabhanti Kusapi tidak jauh nasibnya dengan tradisi lisan lisan lainnya yang terancam punah. Masyarakat Muna khususnya generasi muda tidak mengetahui bentuk, fungsi dan makna kabhanti Kusapi. Kurangnya perhatian generasi muda terhadap warisan leluhur itu disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah adanya kemajuan zaman yang serba canggih, akibatnya mereka lebih tertarik pada karya sastra modern yang lebih tersedia di sekitarnya, padahal bahasanya serta nilai-nilai kehidupan yang syarat di dalamnya, lebih dari cukup untuk menobatkannya sebagai tradisi yang bermutu tinggi. Hal tersebut semakin menambah kekhawatiran bahwa di masa mendatang kabhanti Kusapi ini akan hilang dari peredaran masa. Giddens (2003: 67) mengatakan bahwa globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui budaya konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan, dan bentuk-bentuk budaya baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola kesamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Storey, 2007: 54). Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi juga mempengaruhi dari segala aspek kehidupan. Globalisasi, di satu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, namun di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun temurun yang telah diwariskan sebagai bentuk warisan budaya lokal.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Bentuk, Fungsi dan Makna kabhanti Kusapi pada Masyarakat Etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”?
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi dan Makna kabhanti Kusapi pada Masyarakat Etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.2.2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran teoritis dalam rangka memperkaya bahan reverensi di bidang tradisi lisan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan tradisi lisan.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai reverensi kepada peneliti lain yang relevan dengan penelitian ini.
4. Sebagai bahan ajar bagi pembelajaran muatan lokal di sekolah khususnya pembelajaran bahasa dan sastra daerah Muna.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Bentuk kabhanti yang meliputi (a) jumlah baris, (b) jumlah suku kata, (c) jumlah kata, (d) persajakan, dan (e) ritme (irama).
2. Fungsi Kabhanti meliputi (a) sebagai nasehat (mendidik), (b) sebagai hiburan, dan (c) sebagai pelestarian budaya.
3. Makna kabhanti meliputi (a) kabhanti yang bertema nasehat, (b) kabhanti yang betema agama, dan (c) kabhanti yang bertema percintaan.
1.4 Batasan Istilah
1. Bentuk adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah, tipografi (bentuk penulisan) meliputi jumlah baris, jumlah suku kata, persajakan, ritme (irama).
2. Fungsi adalah kegunaan suatu hal, daya guna.
3. Makna adalah sesuatu yang tidak terlihat secara lahiriah, merupakan penggambaran secara harfiah dan secara konteks yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indeonesia.
4. Kabhanti adalah sejenis puisi lama yang menyerupai pantun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Tradisi Lisan
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan. Masyarakat etnik Muna memiliki tradisi ritual yang telah diwariskan dari turun-temurun dari generasi tua ke generasi muda secara berkelanjutan. Salah satu tradisi lisan yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna adalah tradisi lisan kabhanti kusapi.
Hoed (2008: 184) menyatakan, berbagai pengetahuan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal seperti yang dikemukan oleh Roger Told dan Pudentia (1995: 2) yakni…”oral traditions do not only contain folktales, myth and legends (…), but store complete indigeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication”. Lord (1995: 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya tetapi melisankannya, dan penerima tidak membacanya, namun mendengar. Senada dengan itu, Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008: 258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, atau amalan, di antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan permainan.
2.1 Konsep Kabhanti
Menurut Mokui (1991: 6-8) bahwa dilihat dari penggunaannya kabhanti itu dapat dibagi atas empat macam:
(1) Kabhanti kantola; yaitu kabhanti yang digunakan pada waktu bermain kantola. Kantola adalah sejenis permainan tradisional, dimana para pemain berdiri berhadapan antara pemain pria dan wanita. Mereka berbalas pantun dengan irama lagu ruuruunte atau ruuruuntete. Irama ruuruunte ini menggunakan paling tinggi lima nada. Acara kantola biasanya dilaksanakan pada malam hari di musim kemarau setelah selesai panen ubi kayu dan ubi jalar. Adapun bentuk syair kabhanti seperti ini, sepintas lalu dapat kita katakan prosa liris yakni prosa yang mementingkan irama. Akan tetapi bila kita teliti benar sebagian dapat digolongkan bentuk pantun yang disebut talibun yakni pantun yang lebih dari empat baris tetapi genap jumlahnya.
(2) Kabhanti watulea; adalah kabhanti yang menggunakan irama watulea. Kabhanti macam ini biasanya dinyanyikan pada waktu menebas hutan atau berkebun. Sambil bekerja mereka menyanyi bersama-sama atau sendirian. Kadang-kadang dinyanyikan agar tidak kesepian di tempat kesunyian. Syair kabhanti watulea sebenarnya hanya dua baris dan masing-masing baris terdiri dari tiga kata atau dua kata bila kata itu agak panjang. Karena pada waktu mengulangi menyanyikannya diantarai dengan kalimat E……..ingka kotughu daano, sehingga seolah olah pantun itu terdiri dari tiga baris.
(3) Kabhanti gambusu; yakni pantun yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama gambus. Biasanya menggunakan gambus kuno yaitu gambus yang bentuknya sederhana, tidak seperti gambus yang kita lihat pada layar televisi. Kadang-kadang instrumen yang digunakan bukan hanya gambus akan tetapi dilengkapi dengan biola, kecapi, serta botol kosong yang ditabu atau dipukul dengan sendok atau paku mengikuti irama lagu dan bunyi instrumen-instrumen enak didengar. Walaupun bukan hanya gambus yang digunakan pada waktu bermain, tetapi pantun yang dinyanyikan disebut kabhanti gambusu (pantun gambus). Kabhanti gambusu biasanya disajikan pada acara pesta kampung misalnya pernikahan, khitanan, dan jenis kegiatan lainnya yang ada dalam masyarakat muna.
(4) Kabhanti modero; sebenarnya sama dengan kabhanti gambusu.
Kabhanti gambusu sering pula dinyanyikan pada waktu bermain modero. Oleh sebab itu kabhanti gambusu disebut pula kabhanti modero. Modero adalah tari daerah yang hampir sama dengan tari lulo (tari daerah Sulawesi Tenggara). Para pemain saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil menyanyi seirama dengan langkah dalam tarian.
(5) Kabhanti kusapi, yakni pantun yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama gambusu kusapi
Berdasarkan uraian di atas maka obyek kajian dalam penelitian ini adalah kabhanti gambusu atau modero. Alasan memilih kabhanti gambusu atau modero adalah karena kabhanti ini sama dengan jenis puisi lama(pantun). Tuturan kabhanti gambusu dan modero adalah sama, hanya yang menjadi perbedaan adalah cara pelaksanaannya. Kabhanti gambusu dilaksanakan dengan menggunakan alat musik gambus baik dalam bentuk perorangan maupun sendiri-sendiri, sedangkan modero dilaksanakan secara berkelompok dengan cara bergandengan tangan yang menyerupai tari lulo. Jadi yang menjadi fokus penelitian saya adalah kabhanti gambusu atau modero.
2.2 Sastra Lisan
Sebagai data kebudayaan, sastra dapat dibedakan menjadi dua yaitu sastra tulis dan sastra lisan (Sumardjo dan Saini, 1997:78-79).
Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorsinalan, kewadahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman, 1990: 71). Menurut Mulyana dalam Kurnia et al. (1997:7), sastra dibangun oleh seni kata yakni sebagai penjelmaan jiwa yang diekspresikan ke dalam keindahan kata.
Beberapa ahli memberikan batasan tentang sastra yaitu sebagai berikut:
1. Sastra adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni yang bentuk dan ekspresinya imajinatif (Wellek dalam Zulfahnur et al., 1997:7).
2. Sastra adalah ekspresi dari kehidupan dengan media bahasa yang khas (Hudson dalam Zulfahnur et al., 1997: 7).
3. Sastra adalah ungkapan peribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang mengakibatkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo dalam Adji et al., 1997: 8).
4. Sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang berunsur fiksionalitas, yang merupakan luapan emosi spontan (Luxemburg dalam Zulfahnur et al., 1997:8).
Dari batasan sastra tersebut dapat diketahui sifat-sifat sastra yaitu:
a. Sastra bersifat khayali (fictionality): maksudnya lewat daya imajinasinya pengarang ingin mengungkapkan kenyataan-kenyataan hidup, sehingga kehidupan lebih bermakna dan menarik minat pembaca.
b. Sastra mengandung nilai estetik sehingga karya sastra punya daya tersendiri.
c. Sastra memakai bahasa yang khas yaitu bahasa estetik (Kurnia et al., 1997: 7-8).
Sastra lisan adalah salah satu unsur kebudayaan yang mengandung berbagai informasi kebudayaan yang tengah diteliti (Rokhman, 2003: 79).
Sastra lisan adalah sastra yang dituturkan dari mulut ke mulut (Emeis, 1995: 5). Menurut Suhita et al. (1996:90) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang pencerita atau penyair kepada seseorang atau sekelompok pendengar.
Dengan demikian kabhanti Wuna yang tergolong dalam sastra lisan karena didendangkan dari mulut seseorang atau sekelompok orang yang juga merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Muna.
2.3 Pengertian Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris ”folklore”. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar ”folk dan lore” (Danandjaja, 2002: 1). Menurut Alan Dundes, ”folk” adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan ”lore” adalah tradisi ”folk”, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002: 1-2).
Folklor menurut Brunfand dalam semiotika (1997: 9) adalah sebagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan turun temurun secara kolektif dan secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002: 02).
Brunfand dalam Lampasa (2005: 13-14) menjelaskan bahwa folklor meliputi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:
(1) Folklor lisan (verbal volklore),
Folklor lisan yaitu folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk folklor yang termasuk dalam kelompok besar ini antara lain meliputi:
a. Bahasa rakyat, seperti sindiran, logat, bahasa rahasia dan mantera.
b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah dan seloka.
c. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki.
d. Puisi rakyat, seperti pantun, syair dan gurindam.
e. Cerita rakyat, seperti mite, legenda, dongeng, fabel, dan cerita.
(2) Folklor sebagian lisan (party verbal volklore).
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini antara lain; kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta rakyat.
(3) Folklor bukan lisan (non verbal volklore), folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bentuk ini dibagi lagi menjadi dua sub kelompok yakni yang material dan bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material antara lain; arsitektur rakyat (bentuk lumbung padi, bentuk rumah asli daerah), kerajinan tangan rakyat dan obat-obatan tradisional sedangkan yang termasuk folklor bukan material antara lain; gerak isyarat tradisional dan musik rakyat.
Menurut Brunvand dalam Danandjaja (2002: 21-22) folklor dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu:
1. folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termaksud ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah,dan pameo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat.
2. folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh modern seringkali disebut takhyul, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu.
3. folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Contohnya seperti, arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan minuman rakyat, dan musik rakyat.
Selanjutnya Danandjaja dalam Semiotika (1997 : 2) menyebutkan bahwa ciri pengenal folklor khususnya folklor lisan adalah sebagai berikut :
1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
2) Folklor bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau bukan bentuk standar.
3) Folklor ada dalam bentuk versi-versi yang berbeda, hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut.
4) Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
6) Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7) Folklor bersifat prologis yakni mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
8) Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu yang hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa miliknya.
9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga sering kali terlihat kasar dan spontan.
Jadi kabhanti adalah tergolong folklor lisan.
2.5 Bentuk-bentuk puisi Rakyat
Menurut Zuniar et al. (1997:87) bahwa yang termasuk dalam puisi lama atau puisi rakyat adalah (1) mantra, (2) bidal, (3) gurindam, (4) talibun, (5) syair, (6) pantun dan lain-lain.
1. Mantra
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmah atau kekuatan gaib. Kekuatan batin mantra berupa permainan bunyi dan biasanya bersuasana mitis dalam hubungan manusia dengan tuhan (Adji et al., 1997:89).
2. Bidal
Bidal adalah peribahasa atau pepatah yang mengandung nasihat, peringatan, dan sebagainya (Sudjiman, 1990:13).
Pendapat lainnya bahwa yang dimaksud dengan bidal adalah kalimat-kalimat yang singkat, mengandung pengertian atau membayangkan sesuatu yang sifatnya sindiran atau kiasan. Bidal meliputi :
a. Pepatah, yaitu kalimat-kalimat yang seolah-olah dipatah-patahkan yang mengiaskan suatu keadaan atau tingkah laku seseorang.
b. Peribahasa, yaitu kalimat-kalimat yang mengatakan perihal atau sesuatu keadaan yang dinyatakan dengan berkias seperti bermain api basah, bermain api letup.
c. Perumpamaan, yaitu kalimat yang mengumpamakan keadaan alam yang sebenarnya dengan keadaan lain di alam. Contoh, biduk di kayuh ke hilir.
d. Ibarat, yaitu perumpamaan yang lebih jelas, karena disertai dengan arti dan penjelasan.
e. Pameo, yaitu kata-kata atau kalimat singkat yang mengandung ejekan atau semangat yang ditiru dari ucapan seseorang. Contoh sekali merdeka tetap merdeka (Husnan dalam Muhadat, 2005:12-13).
3. Gurindam
Menurut Sudjiman (1990:33) menyebutkan bahwa gurindam adalah jenis puisi melayu lama yang terdiri dari dua larik yang berima akhir dan yang merupakan kesatuan utuh. Larik pertama melukiskan syarat, larik kedua berupa jawab, kesimpulan, atau akibatnya. Biasanya berisi nasihat.
4. Talibun
Talibun adalah salah satu bentuk puisi lama yang menyerupai pantun. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sudjiman (1990:77) bahwa talibun sama dengan pantun. Jumlah baris talibun biasanya 6,8,10,12 atau 14 (Kinayati, 1997:93).
5. Syair
Dalam kamus istilah sastra, syair adalah jenis puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas empat larik, yang bersajak sama; isinya dapat merupakan kiasan yang mengandung mitos dan unsur sejarah, atau merupakan ajaran falsafah atau agama. Syair biasanya panjang-panjang, bentuknya sederhana dan biasa berisi cerita angan-angan, sejarah dan petua-petua (Emeis, 1952:7).
Pradopo et al. (1998: 2.6) mengemukakan ciri-ciri formal syair adalah :
1. Satu bait terdiri dari empat baris (larik).
2. Tiap larik terdiri dari dua bagian yang sama.
3. Pola sajak (rima) akhir syair berupa sajak sama: a-a-a-a.
4. Keempat baris syair saling berhubungan membentuk cerita.
5. Dalam syair satu bait, belum selesai.
6. Syair bersifat epis, yaitu berupa cerita.
6. Pantun
Pantun adalah jenis puisi lama yang terdiri dari empat larik berirama silang a-b-a-b, tiap larik biasanya berjumlah empat kata. Dua larik pertama disebut sampiran dan dua larik beriktunya disebut isi pantun. Jumlah suku kata 8-12. Ada juga pantun yang terdiri dari enam atau delapan larik (Djojosuroto et al., 1997:92-93)
Zulfahnur et al. (1997:94-95) berpendapat bahwa pantun adalah bagian dari karya sastra lama yang banyak macamnya, namun jika dilihat dari segi isi yang terkandung didalamnya, pantun hanya dibagi atas tiga bagian yaitu : (a) pantun anak-anak, (2) pantun muda-mudi, (3) pantun orang tua.
Adapun ciri-ciri format pantun adalah sebagai berikut :
1. Satu bait terdiri dari empat baris (larik).
2. Tiap larik terdiri dua bagain yang sama.
3. Pola sajak (rima) akhir pantun berupa sajak berselang : a-b-a-b.
4. Pantun terbagi menjadi dua bagian, yaitu baris kesatu dan baris kedua disebut sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat disebut isi.
5. Dalam pantun, satu bait sudah lengkap.
6. Pantun bersifat liris, berupa curahan perasaan atau pikiran (Pradopo et al., 1998: 2.6).
Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa Kabhanti adalah sejenis pantun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, dkk. 2008. Agama dan kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Adiwilaga, A. 1982. Manajemen Usaha Tani. Jakarta Rajawali Press
Ali, Madekhan. 2007. Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press
Aris, La Ode. 2010. Kaago-ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna). Tesis di Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan
Bacock, Robert. 1986. 1986. Hegemony. Chichester: Ellis Harword Limited.
Banawiratma, J.B., 1994. “Beberapa Tantangan Terhadap Usaha Berteologi Dewasa Ini”, Dalam Budi Susanto, SJ (ed) Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern. Yogyakarta: Kanisius
Barker, Chris. 2004. 2005. Cultural studies. Teori dan Praktik. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Barker, Chris. 2004. Cultural studies. Teori dan Praktik. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta: Benteng Pustaka
Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial. Alih Bahasa Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daud, Haron. 2008. Analisis Data Penelitian Tradisi Lisan Kelantan. dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. (Pudentia, ed.). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomena agama.Yogyakarta: Kanisius
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Esten, Mursal, 1999. Kajian Transfirmasi Budaya. Bandung: Angkasa
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah : Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Djambatan.
Garna, Judistira K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika
Giddens, Anthony, 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Penerjemah. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Notebooks. New York: Internasional Publisher
Halliday. 1997. Explorations in The Function of Language. London : Edward Arnold.
Hoban, Nong. 2007. Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik Bhajawa Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: FIB-UI
Jegalus, Norbert, 2003. “Filsafat Kebudayaan”, Diktat Bahan Kuliah Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka
Kleden, Ignatius. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6
Kleden, Paulus Budi, 2002. Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead, Maumure: Penerbit Ledalero
Koetjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Koetjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Kottak, Conrard P. 1999. Mirror For Humanity, A Concise Interduction to Cultural Anthropology, Interduction Editonas, Boston Burr Riddge, II Dubuque (etc), MC Graw-Hill Collage.
Lord, Albert B. 2000. The Singer of Tales Second Edition. London: Harvad Universiy Press.
Lord, Albert B. 1995. The Singer Resumes The Tale. London Cornell: University Press.
Majid, Bakhtiar. 2010. Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Balolo dalam Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya. Denpasar: Tesis pada Program studi Kajian Budaya Unud
Maleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Posdakarya
Maleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Posdakarya
Muhadjir, Neong. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalitas, Phenomonologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta: Rake Sarisin
Mutoyib. 1995. Globalisasi Kebudayaan dan Kehanan Ideologi dalam forum Diskusi Filsafat UGM. Yogyakarta: Adetya Media
Nashir, Haedan, 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadja Mada University Press
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Niron, Benekditus Belang. 2005. Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng Kecamatan Solok Barat, Flores Timur: Prekspektif Kajian Budaya. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan
Noris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar- Ruzz
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Transpolitika, Dinamika Politik dalam Era Virtualitas. Ceatakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra
Press
Pudentia, 2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi Lisan Melayu Mak Yong. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Purwasita, Andrik. 2003 .Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University
Rahman, Abdul. 2007. Ritual Cera Lepa (Selamatan Perahu Baru) dalam Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota kendari, Sulawesi Tenggara. Skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. Tidak diterbitkan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural studies representasi Fiksi dan Fakta Cetakan Kesatu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 2004. Teori-Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Muh. Taufik. Yogyakarta: Juxtapose Researc and Publication Study Club.
Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sairin, Sjafri. 2001. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Cetakan 1, terjemahan). Yogyakarta: Insist Press-Pustaka Pelajar
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES
Sobur, alex. 2003. Semiotika komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Soekanto, Soerjono. 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Grafindo Persada
Spivak, C.S. 2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengatntar. Yogyakarta: ar-Ruzz.
Storey, John, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop Pengantar Kompherensif Teori dan Metode. Penerjemah Layli Rahmawati. Yogyakara: Jalasutra.
Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Pascasarjana Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, (tidak diterbikan)
Suranto, 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Sztompka, Piotr, 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Turner, V. 1974. Darmas, Fields and Metaphors. Ithaca: Cornel University Press.
Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta : Gramedia.
Vianey, Watu Yohanes. 2008. Representase Citraan llahi dan Insani dalam Entitas Ritus Sa’o Ngaja di Kampung Guru Sina, Kabupaten Ngada, Flores. Denpasar: Tesis pada Program studi Kajian Budaya Unud
Aliana, Zainal Arifin, dkk. 1992. Sastra Lisan Bahasa Melayu Belitung. Jakarta: Depdikbud
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1997. Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya
-------------. 2004. Puisi Lama. Jakarta: Dian Rakyat.
Ambary, Drs. Abdullah. 1968. Masalah Sastra Indonesi. Bandung: Djatnika.
Alwi, Hasan, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Depdiknas: Jakarta.
Badudu, J.S. 1975. Sari Kesusastraan Indonesia I dan II. Pustaka Prima: Bandung.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Djamaris, Dr. Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minang Kabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gafar, Zainal Arifin, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan MusiI. Depdikbud: Jakarta.
………………………… 1991. Sastra Lisan Kayu Agung. Depdikbud: Jakarta.
Hoetomo, M.A. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Undonesia. Mitra Pelajar: Surabaya.
Husnan, Ema, dkk. 1986. Apresiasi Sastra Indonesia. Angkasa: Bandung.
Hutomo. Suripan Sadi. 1983. ahasa dan Sastra Lisan Orang Samia. Dekdikbud: Yogyakarta.
Isnan. 2003. Skripsi Struktur Cerita Lisan “Sima-sima O’sao”. “La Bionda”. “Anawula”. Kendari: Unhalu.
Nursisto, Drs. 2000. Ikhtiar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adi Cita.
Pradopo, Djoko. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Purwanto, Ngalimin. 1993. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ganesa
Pradotokusumo, Partini Hardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Saemina. 2995. Skripsi Analisis Bentuk dan Isi Lolama Sebagai Salah Satu Puisi Lama Masyarakat Tolaki. Kendari: Unhalu.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sutarno. 1967. Peristiwa Sejarah Sastra Melayu Lama. Widya Duta: Surabaya.
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makasar: UNM.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Zulfahnur, Z.F, dkk. 1996/1997. Teori Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud
TRADISI LISAN KABHANTI KUSAPI PADA MASYARAKAT ETNIK MUNA
DI KECAMATAN LAWA KABUPATEN MUNA
SULAWESI TENGGARA
OLEH
LA BANARA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan. Lord (1995: 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya tetapi melisankannya, dan penerima tidak membacanya, namun mendengar. Senada dengan itu, Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008: 258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, atau amalan, di antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan permainan. Tradisi lisan kabhanti Kusapi merupakan salah satu kebudayaan daerah yang perlu dibina dan dilestarikan karena sastra daerah ini semakin kurang dikenal oleh masyarakat pendukungnya dan terancam punah maka perlu mendapat perhatian serius. Sejalan dengan perkembangan zaman yang kompetitif yang dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur budaya dalam masyarakat hal ini perlu disadari oleh warga negara bahwa tradisi lisan yang tersebar diberbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Arus informasi yang serba canggih telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut simpati generasi muda, akibatnya tradisi lisan yang merupakan warisan leluhur terabaikan begitu saja. Di samping itu penyebrannya bersifat lisan tanpa dokumen tertulis dan penutur setia semakin berkurang menjadikan tradisi lisan terancam punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka sastra tersebut lambat laun akan punah sama sekali. Padahal dalam tradisi lisan itu tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kabhanti Kusapi merupakan salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Muna yang biasa disampaikan dalam balas pantun dengan cara berkelompok misalnya terdiri dari kelompok laki-laki dan perempuan atau juga dalam bentuk monolog (perorangan). Seni tradisi lisan ini disampaikan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengemukakan serta menyampaikan maksud tertentu baik yang berisi sindiran, nasehat, maupun percintaan. Bagi masyarakat pendukungnya kabhanti Kusapi tersebut dibawakan dengan cara dilantunkan atau dinyanyikan dan biasanya diiringi alat musik gambus yang biasa dilaksanakan atau disajikan pada acara pesta kampung misalnya pernikahan, khitanan, dan jenis kegiatan lain yang ada dalam masyarakat Muna. Kabhanti Kusapi sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Muna yang banyak mengandung nilai budaya, norma-norma sosial dan mengandung nilai estetika dan moral dari masyarakat pendukungnya. Di samping itu kabhanti Kusapi dapat berguna untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang banyak digunakan oleh orang-orang tua dalam mendidik anak-anak dan juga dapat digunakan oleh pemuda dan pemudi dalam hal mencurahkan isi hatinya kepada seseorang seperti menyatakan cinta kasih, suka duka, kerinduan dan kekecewaan. Namun keberadaan tradisi lisan kabhanti Kusapi tidak jauh nasibnya dengan tradisi lisan lisan lainnya yang terancam punah. Masyarakat Muna khususnya generasi muda tidak mengetahui bentuk, fungsi dan makna kabhanti Kusapi. Kurangnya perhatian generasi muda terhadap warisan leluhur itu disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah adanya kemajuan zaman yang serba canggih, akibatnya mereka lebih tertarik pada karya sastra modern yang lebih tersedia di sekitarnya, padahal bahasanya serta nilai-nilai kehidupan yang syarat di dalamnya, lebih dari cukup untuk menobatkannya sebagai tradisi yang bermutu tinggi. Hal tersebut semakin menambah kekhawatiran bahwa di masa mendatang kabhanti Kusapi ini akan hilang dari peredaran masa. Giddens (2003: 67) mengatakan bahwa globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui budaya konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan, dan bentuk-bentuk budaya baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola kesamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Storey, 2007: 54). Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi juga mempengaruhi dari segala aspek kehidupan. Globalisasi, di satu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, namun di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun temurun yang telah diwariskan sebagai bentuk warisan budaya lokal.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Bentuk, Fungsi dan Makna kabhanti Kusapi pada Masyarakat Etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”?
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi dan Makna kabhanti Kusapi pada Masyarakat Etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.2.2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran teoritis dalam rangka memperkaya bahan reverensi di bidang tradisi lisan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan tradisi lisan.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai reverensi kepada peneliti lain yang relevan dengan penelitian ini.
4. Sebagai bahan ajar bagi pembelajaran muatan lokal di sekolah khususnya pembelajaran bahasa dan sastra daerah Muna.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Bentuk kabhanti yang meliputi (a) jumlah baris, (b) jumlah suku kata, (c) jumlah kata, (d) persajakan, dan (e) ritme (irama).
2. Fungsi Kabhanti meliputi (a) sebagai nasehat (mendidik), (b) sebagai hiburan, dan (c) sebagai pelestarian budaya.
3. Makna kabhanti meliputi (a) kabhanti yang bertema nasehat, (b) kabhanti yang betema agama, dan (c) kabhanti yang bertema percintaan.
1.4 Batasan Istilah
1. Bentuk adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah, tipografi (bentuk penulisan) meliputi jumlah baris, jumlah suku kata, persajakan, ritme (irama).
2. Fungsi adalah kegunaan suatu hal, daya guna.
3. Makna adalah sesuatu yang tidak terlihat secara lahiriah, merupakan penggambaran secara harfiah dan secara konteks yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indeonesia.
4. Kabhanti adalah sejenis puisi lama yang menyerupai pantun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Tradisi Lisan
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan. Masyarakat etnik Muna memiliki tradisi ritual yang telah diwariskan dari turun-temurun dari generasi tua ke generasi muda secara berkelanjutan. Salah satu tradisi lisan yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna adalah tradisi lisan kabhanti kusapi.
Hoed (2008: 184) menyatakan, berbagai pengetahuan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal seperti yang dikemukan oleh Roger Told dan Pudentia (1995: 2) yakni…”oral traditions do not only contain folktales, myth and legends (…), but store complete indigeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication”. Lord (1995: 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya tetapi melisankannya, dan penerima tidak membacanya, namun mendengar. Senada dengan itu, Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008: 258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, atau amalan, di antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan permainan.
2.1 Konsep Kabhanti
Menurut Mokui (1991: 6-8) bahwa dilihat dari penggunaannya kabhanti itu dapat dibagi atas empat macam:
(1) Kabhanti kantola; yaitu kabhanti yang digunakan pada waktu bermain kantola. Kantola adalah sejenis permainan tradisional, dimana para pemain berdiri berhadapan antara pemain pria dan wanita. Mereka berbalas pantun dengan irama lagu ruuruunte atau ruuruuntete. Irama ruuruunte ini menggunakan paling tinggi lima nada. Acara kantola biasanya dilaksanakan pada malam hari di musim kemarau setelah selesai panen ubi kayu dan ubi jalar. Adapun bentuk syair kabhanti seperti ini, sepintas lalu dapat kita katakan prosa liris yakni prosa yang mementingkan irama. Akan tetapi bila kita teliti benar sebagian dapat digolongkan bentuk pantun yang disebut talibun yakni pantun yang lebih dari empat baris tetapi genap jumlahnya.
(2) Kabhanti watulea; adalah kabhanti yang menggunakan irama watulea. Kabhanti macam ini biasanya dinyanyikan pada waktu menebas hutan atau berkebun. Sambil bekerja mereka menyanyi bersama-sama atau sendirian. Kadang-kadang dinyanyikan agar tidak kesepian di tempat kesunyian. Syair kabhanti watulea sebenarnya hanya dua baris dan masing-masing baris terdiri dari tiga kata atau dua kata bila kata itu agak panjang. Karena pada waktu mengulangi menyanyikannya diantarai dengan kalimat E……..ingka kotughu daano, sehingga seolah olah pantun itu terdiri dari tiga baris.
(3) Kabhanti gambusu; yakni pantun yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama gambus. Biasanya menggunakan gambus kuno yaitu gambus yang bentuknya sederhana, tidak seperti gambus yang kita lihat pada layar televisi. Kadang-kadang instrumen yang digunakan bukan hanya gambus akan tetapi dilengkapi dengan biola, kecapi, serta botol kosong yang ditabu atau dipukul dengan sendok atau paku mengikuti irama lagu dan bunyi instrumen-instrumen enak didengar. Walaupun bukan hanya gambus yang digunakan pada waktu bermain, tetapi pantun yang dinyanyikan disebut kabhanti gambusu (pantun gambus). Kabhanti gambusu biasanya disajikan pada acara pesta kampung misalnya pernikahan, khitanan, dan jenis kegiatan lainnya yang ada dalam masyarakat muna.
(4) Kabhanti modero; sebenarnya sama dengan kabhanti gambusu.
Kabhanti gambusu sering pula dinyanyikan pada waktu bermain modero. Oleh sebab itu kabhanti gambusu disebut pula kabhanti modero. Modero adalah tari daerah yang hampir sama dengan tari lulo (tari daerah Sulawesi Tenggara). Para pemain saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil menyanyi seirama dengan langkah dalam tarian.
(5) Kabhanti kusapi, yakni pantun yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama gambusu kusapi
Berdasarkan uraian di atas maka obyek kajian dalam penelitian ini adalah kabhanti gambusu atau modero. Alasan memilih kabhanti gambusu atau modero adalah karena kabhanti ini sama dengan jenis puisi lama(pantun). Tuturan kabhanti gambusu dan modero adalah sama, hanya yang menjadi perbedaan adalah cara pelaksanaannya. Kabhanti gambusu dilaksanakan dengan menggunakan alat musik gambus baik dalam bentuk perorangan maupun sendiri-sendiri, sedangkan modero dilaksanakan secara berkelompok dengan cara bergandengan tangan yang menyerupai tari lulo. Jadi yang menjadi fokus penelitian saya adalah kabhanti gambusu atau modero.
2.2 Sastra Lisan
Sebagai data kebudayaan, sastra dapat dibedakan menjadi dua yaitu sastra tulis dan sastra lisan (Sumardjo dan Saini, 1997:78-79).
Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorsinalan, kewadahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman, 1990: 71). Menurut Mulyana dalam Kurnia et al. (1997:7), sastra dibangun oleh seni kata yakni sebagai penjelmaan jiwa yang diekspresikan ke dalam keindahan kata.
Beberapa ahli memberikan batasan tentang sastra yaitu sebagai berikut:
1. Sastra adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni yang bentuk dan ekspresinya imajinatif (Wellek dalam Zulfahnur et al., 1997:7).
2. Sastra adalah ekspresi dari kehidupan dengan media bahasa yang khas (Hudson dalam Zulfahnur et al., 1997: 7).
3. Sastra adalah ungkapan peribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang mengakibatkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo dalam Adji et al., 1997: 8).
4. Sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang berunsur fiksionalitas, yang merupakan luapan emosi spontan (Luxemburg dalam Zulfahnur et al., 1997:8).
Dari batasan sastra tersebut dapat diketahui sifat-sifat sastra yaitu:
a. Sastra bersifat khayali (fictionality): maksudnya lewat daya imajinasinya pengarang ingin mengungkapkan kenyataan-kenyataan hidup, sehingga kehidupan lebih bermakna dan menarik minat pembaca.
b. Sastra mengandung nilai estetik sehingga karya sastra punya daya tersendiri.
c. Sastra memakai bahasa yang khas yaitu bahasa estetik (Kurnia et al., 1997: 7-8).
Sastra lisan adalah salah satu unsur kebudayaan yang mengandung berbagai informasi kebudayaan yang tengah diteliti (Rokhman, 2003: 79).
Sastra lisan adalah sastra yang dituturkan dari mulut ke mulut (Emeis, 1995: 5). Menurut Suhita et al. (1996:90) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang pencerita atau penyair kepada seseorang atau sekelompok pendengar.
Dengan demikian kabhanti Wuna yang tergolong dalam sastra lisan karena didendangkan dari mulut seseorang atau sekelompok orang yang juga merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Muna.
2.3 Pengertian Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris ”folklore”. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar ”folk dan lore” (Danandjaja, 2002: 1). Menurut Alan Dundes, ”folk” adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan ”lore” adalah tradisi ”folk”, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002: 1-2).
Folklor menurut Brunfand dalam semiotika (1997: 9) adalah sebagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan turun temurun secara kolektif dan secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002: 02).
Brunfand dalam Lampasa (2005: 13-14) menjelaskan bahwa folklor meliputi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:
(1) Folklor lisan (verbal volklore),
Folklor lisan yaitu folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk folklor yang termasuk dalam kelompok besar ini antara lain meliputi:
a. Bahasa rakyat, seperti sindiran, logat, bahasa rahasia dan mantera.
b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah dan seloka.
c. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki.
d. Puisi rakyat, seperti pantun, syair dan gurindam.
e. Cerita rakyat, seperti mite, legenda, dongeng, fabel, dan cerita.
(2) Folklor sebagian lisan (party verbal volklore).
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini antara lain; kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta rakyat.
(3) Folklor bukan lisan (non verbal volklore), folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bentuk ini dibagi lagi menjadi dua sub kelompok yakni yang material dan bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material antara lain; arsitektur rakyat (bentuk lumbung padi, bentuk rumah asli daerah), kerajinan tangan rakyat dan obat-obatan tradisional sedangkan yang termasuk folklor bukan material antara lain; gerak isyarat tradisional dan musik rakyat.
Menurut Brunvand dalam Danandjaja (2002: 21-22) folklor dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu:
1. folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termaksud ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah,dan pameo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat.
2. folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh modern seringkali disebut takhyul, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu.
3. folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Contohnya seperti, arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan minuman rakyat, dan musik rakyat.
Selanjutnya Danandjaja dalam Semiotika (1997 : 2) menyebutkan bahwa ciri pengenal folklor khususnya folklor lisan adalah sebagai berikut :
1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
2) Folklor bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau bukan bentuk standar.
3) Folklor ada dalam bentuk versi-versi yang berbeda, hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut.
4) Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
6) Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7) Folklor bersifat prologis yakni mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
8) Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu yang hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa miliknya.
9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga sering kali terlihat kasar dan spontan.
Jadi kabhanti adalah tergolong folklor lisan.
2.5 Bentuk-bentuk puisi Rakyat
Menurut Zuniar et al. (1997:87) bahwa yang termasuk dalam puisi lama atau puisi rakyat adalah (1) mantra, (2) bidal, (3) gurindam, (4) talibun, (5) syair, (6) pantun dan lain-lain.
1. Mantra
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmah atau kekuatan gaib. Kekuatan batin mantra berupa permainan bunyi dan biasanya bersuasana mitis dalam hubungan manusia dengan tuhan (Adji et al., 1997:89).
2. Bidal
Bidal adalah peribahasa atau pepatah yang mengandung nasihat, peringatan, dan sebagainya (Sudjiman, 1990:13).
Pendapat lainnya bahwa yang dimaksud dengan bidal adalah kalimat-kalimat yang singkat, mengandung pengertian atau membayangkan sesuatu yang sifatnya sindiran atau kiasan. Bidal meliputi :
a. Pepatah, yaitu kalimat-kalimat yang seolah-olah dipatah-patahkan yang mengiaskan suatu keadaan atau tingkah laku seseorang.
b. Peribahasa, yaitu kalimat-kalimat yang mengatakan perihal atau sesuatu keadaan yang dinyatakan dengan berkias seperti bermain api basah, bermain api letup.
c. Perumpamaan, yaitu kalimat yang mengumpamakan keadaan alam yang sebenarnya dengan keadaan lain di alam. Contoh, biduk di kayuh ke hilir.
d. Ibarat, yaitu perumpamaan yang lebih jelas, karena disertai dengan arti dan penjelasan.
e. Pameo, yaitu kata-kata atau kalimat singkat yang mengandung ejekan atau semangat yang ditiru dari ucapan seseorang. Contoh sekali merdeka tetap merdeka (Husnan dalam Muhadat, 2005:12-13).
3. Gurindam
Menurut Sudjiman (1990:33) menyebutkan bahwa gurindam adalah jenis puisi melayu lama yang terdiri dari dua larik yang berima akhir dan yang merupakan kesatuan utuh. Larik pertama melukiskan syarat, larik kedua berupa jawab, kesimpulan, atau akibatnya. Biasanya berisi nasihat.
4. Talibun
Talibun adalah salah satu bentuk puisi lama yang menyerupai pantun. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sudjiman (1990:77) bahwa talibun sama dengan pantun. Jumlah baris talibun biasanya 6,8,10,12 atau 14 (Kinayati, 1997:93).
5. Syair
Dalam kamus istilah sastra, syair adalah jenis puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas empat larik, yang bersajak sama; isinya dapat merupakan kiasan yang mengandung mitos dan unsur sejarah, atau merupakan ajaran falsafah atau agama. Syair biasanya panjang-panjang, bentuknya sederhana dan biasa berisi cerita angan-angan, sejarah dan petua-petua (Emeis, 1952:7).
Pradopo et al. (1998: 2.6) mengemukakan ciri-ciri formal syair adalah :
1. Satu bait terdiri dari empat baris (larik).
2. Tiap larik terdiri dari dua bagian yang sama.
3. Pola sajak (rima) akhir syair berupa sajak sama: a-a-a-a.
4. Keempat baris syair saling berhubungan membentuk cerita.
5. Dalam syair satu bait, belum selesai.
6. Syair bersifat epis, yaitu berupa cerita.
6. Pantun
Pantun adalah jenis puisi lama yang terdiri dari empat larik berirama silang a-b-a-b, tiap larik biasanya berjumlah empat kata. Dua larik pertama disebut sampiran dan dua larik beriktunya disebut isi pantun. Jumlah suku kata 8-12. Ada juga pantun yang terdiri dari enam atau delapan larik (Djojosuroto et al., 1997:92-93)
Zulfahnur et al. (1997:94-95) berpendapat bahwa pantun adalah bagian dari karya sastra lama yang banyak macamnya, namun jika dilihat dari segi isi yang terkandung didalamnya, pantun hanya dibagi atas tiga bagian yaitu : (a) pantun anak-anak, (2) pantun muda-mudi, (3) pantun orang tua.
Adapun ciri-ciri format pantun adalah sebagai berikut :
1. Satu bait terdiri dari empat baris (larik).
2. Tiap larik terdiri dua bagain yang sama.
3. Pola sajak (rima) akhir pantun berupa sajak berselang : a-b-a-b.
4. Pantun terbagi menjadi dua bagian, yaitu baris kesatu dan baris kedua disebut sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat disebut isi.
5. Dalam pantun, satu bait sudah lengkap.
6. Pantun bersifat liris, berupa curahan perasaan atau pikiran (Pradopo et al., 1998: 2.6).
Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa Kabhanti adalah sejenis pantun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, dkk. 2008. Agama dan kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Adiwilaga, A. 1982. Manajemen Usaha Tani. Jakarta Rajawali Press
Ali, Madekhan. 2007. Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press
Aris, La Ode. 2010. Kaago-ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna). Tesis di Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan
Bacock, Robert. 1986. 1986. Hegemony. Chichester: Ellis Harword Limited.
Banawiratma, J.B., 1994. “Beberapa Tantangan Terhadap Usaha Berteologi Dewasa Ini”, Dalam Budi Susanto, SJ (ed) Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern. Yogyakarta: Kanisius
Barker, Chris. 2004. 2005. Cultural studies. Teori dan Praktik. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Barker, Chris. 2004. Cultural studies. Teori dan Praktik. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta: Benteng Pustaka
Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial. Alih Bahasa Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daud, Haron. 2008. Analisis Data Penelitian Tradisi Lisan Kelantan. dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. (Pudentia, ed.). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomena agama.Yogyakarta: Kanisius
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Esten, Mursal, 1999. Kajian Transfirmasi Budaya. Bandung: Angkasa
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah : Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Djambatan.
Garna, Judistira K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika
Giddens, Anthony, 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Penerjemah. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Notebooks. New York: Internasional Publisher
Halliday. 1997. Explorations in The Function of Language. London : Edward Arnold.
Hoban, Nong. 2007. Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik Bhajawa Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: FIB-UI
Jegalus, Norbert, 2003. “Filsafat Kebudayaan”, Diktat Bahan Kuliah Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka
Kleden, Ignatius. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6
Kleden, Paulus Budi, 2002. Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead, Maumure: Penerbit Ledalero
Koetjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Koetjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Kottak, Conrard P. 1999. Mirror For Humanity, A Concise Interduction to Cultural Anthropology, Interduction Editonas, Boston Burr Riddge, II Dubuque (etc), MC Graw-Hill Collage.
Lord, Albert B. 2000. The Singer of Tales Second Edition. London: Harvad Universiy Press.
Lord, Albert B. 1995. The Singer Resumes The Tale. London Cornell: University Press.
Majid, Bakhtiar. 2010. Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Balolo dalam Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya. Denpasar: Tesis pada Program studi Kajian Budaya Unud
Maleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Posdakarya
Maleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Posdakarya
Muhadjir, Neong. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalitas, Phenomonologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta: Rake Sarisin
Mutoyib. 1995. Globalisasi Kebudayaan dan Kehanan Ideologi dalam forum Diskusi Filsafat UGM. Yogyakarta: Adetya Media
Nashir, Haedan, 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadja Mada University Press
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Niron, Benekditus Belang. 2005. Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng Kecamatan Solok Barat, Flores Timur: Prekspektif Kajian Budaya. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan
Noris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar- Ruzz
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Transpolitika, Dinamika Politik dalam Era Virtualitas. Ceatakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra
Press
Pudentia, 2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi Lisan Melayu Mak Yong. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Purwasita, Andrik. 2003 .Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University
Rahman, Abdul. 2007. Ritual Cera Lepa (Selamatan Perahu Baru) dalam Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota kendari, Sulawesi Tenggara. Skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. Tidak diterbitkan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural studies representasi Fiksi dan Fakta Cetakan Kesatu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 2004. Teori-Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Muh. Taufik. Yogyakarta: Juxtapose Researc and Publication Study Club.
Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sairin, Sjafri. 2001. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Cetakan 1, terjemahan). Yogyakarta: Insist Press-Pustaka Pelajar
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES
Sobur, alex. 2003. Semiotika komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Soekanto, Soerjono. 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Grafindo Persada
Spivak, C.S. 2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengatntar. Yogyakarta: ar-Ruzz.
Storey, John, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop Pengantar Kompherensif Teori dan Metode. Penerjemah Layli Rahmawati. Yogyakara: Jalasutra.
Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Pascasarjana Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, (tidak diterbikan)
Suranto, 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Sztompka, Piotr, 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Turner, V. 1974. Darmas, Fields and Metaphors. Ithaca: Cornel University Press.
Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta : Gramedia.
Vianey, Watu Yohanes. 2008. Representase Citraan llahi dan Insani dalam Entitas Ritus Sa’o Ngaja di Kampung Guru Sina, Kabupaten Ngada, Flores. Denpasar: Tesis pada Program studi Kajian Budaya Unud
Aliana, Zainal Arifin, dkk. 1992. Sastra Lisan Bahasa Melayu Belitung. Jakarta: Depdikbud
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1997. Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya
-------------. 2004. Puisi Lama. Jakarta: Dian Rakyat.
Ambary, Drs. Abdullah. 1968. Masalah Sastra Indonesi. Bandung: Djatnika.
Alwi, Hasan, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Depdiknas: Jakarta.
Badudu, J.S. 1975. Sari Kesusastraan Indonesia I dan II. Pustaka Prima: Bandung.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Djamaris, Dr. Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minang Kabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gafar, Zainal Arifin, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan MusiI. Depdikbud: Jakarta.
………………………… 1991. Sastra Lisan Kayu Agung. Depdikbud: Jakarta.
Hoetomo, M.A. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Undonesia. Mitra Pelajar: Surabaya.
Husnan, Ema, dkk. 1986. Apresiasi Sastra Indonesia. Angkasa: Bandung.
Hutomo. Suripan Sadi. 1983. ahasa dan Sastra Lisan Orang Samia. Dekdikbud: Yogyakarta.
Isnan. 2003. Skripsi Struktur Cerita Lisan “Sima-sima O’sao”. “La Bionda”. “Anawula”. Kendari: Unhalu.
Nursisto, Drs. 2000. Ikhtiar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adi Cita.
Pradopo, Djoko. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Purwanto, Ngalimin. 1993. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ganesa
Pradotokusumo, Partini Hardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Saemina. 2995. Skripsi Analisis Bentuk dan Isi Lolama Sebagai Salah Satu Puisi Lama Masyarakat Tolaki. Kendari: Unhalu.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sutarno. 1967. Peristiwa Sejarah Sastra Melayu Lama. Widya Duta: Surabaya.
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makasar: UNM.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Zulfahnur, Z.F, dkk. 1996/1997. Teori Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud
Langganan:
Postingan (Atom)