Jumat, 15 Juni 2012

PERILAKU SINTAKSIS VERBA BAHASA MUNA DI ALEG GU- MAWASANGKA



Diajukan untuk Menulis Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah
Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni
Fekultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Haluoleo

LA BANARA
NIM A1D3 09 169

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNINERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
DAFTAR ISI
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I     PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang dan Masalah
1.1.1    Latar Belakang
1.1.2    Masalah
1.2     Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1    Tujuan Penelitian
1.2.2     Manfaat Penelitian
1.3   Batasan Istilah
BAB II     KAJIAN PUSTAKA
                  2.1 Verba
                        2.1.1 Batasan Verba
                        2.1.2 Ciri-Ciri Verba
                              2.1.2.1  Ciri-Ciri Morfem
                              2.1.2.2 Ciri Sintaksis
                              2.1.2.3 Segi Semantik Makna
                  2.2  Perilaku Sintaksis Verba
                        2.2.1 Frasa Verbal
                              2.2.2 Frasa Verba Endosentrik Adjektif
                              2.2.3 Frasa Verbal Endosentrik Koordinatif
                  2.2.2 Analisis Fungsi
                        2.2.2.1 Verba dan Frasa Verbal sebagai Subjek
                        2.2.2.2 Verba dan Frasa Verbal sebagai Objek
                        2.2.2.3  Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
                        2.2.2.4 Frasa dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
                        2.2.2.5 Verba dan Frasa Verbal sebagai Atribut
                        2.2.2.6 Verba dan Frasa Verbal sebagai Apositif
                  2.2.3 Klausa/Kalimat Verbal
                        2.2.3.1 Verbal Transutif
                        2.2.3.2 Verbal Semitansitif dan Taktransitif
                        2.2.3.3 Verbal Berpreposisi
BAB III   METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
                 3.1 Metode dan Jenis Penelitian
                       3.1.1 Metode Penelitian
                       3.1.2 Jenis Penelitian
                3.2 Data dan Sumber Data
                3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
                        3.3.1 Metode Pengumpulan Data
                        3.3.2 Teknik Pengumpulan Data
                3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
                       3.4.1 Metode Analisis Data
                       3.4.2 Teknik Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


























BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Dan Masalah
1.1.1    Latar Belakang
Setiap kebudayaan daerah merupakan bagian penting dalam kekayaan budaya indonesia. Keragaman budaya yang tersebar diseluruh nusantara merupakan cermin bahasa indonesia yang mempunyai latar belakang kepribadian yang berbeda-beda, salah satu keragaman budaya yang dimaksud adalah bahasa daerah tiap-tiap bahasa yang merupakan bahasa pada bangsa itu. Akan mencerminkan ciri dan dialek serta sistem pembentukan yang berbeda-beda. Misalnya dialek Jawa, dialek Bali, dialek Bugis, dan sebagainya.
    Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah merupakan usaha kearah pengembangan bahasa Indonesia pada umumnya. Karena antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia saling berhubungan, dari segi bahasanya kita melihat hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia, antara lain berasal dari berbagai bahasa daerah. Demikan pula sebaliknya, bahasaa Indonesia itu turut diperka kosakatanya oleh bahasa Indonesia.
    Pembinaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah perlu ditingkatkan karena melalui pembinaan bahasa atau unsur-unsur bahasa turut meletakan dasar persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat memantapkan kepribadian bangsa. Selain itu, bahasa daerah dapat pula menjadi salah satu sarana pendidikan dan landasan pengembangan bahasa Indonesia selanjutnya.
    Mengingat pentingnya bahasa daearah sebagai salah satu pendukung perkembangan bahasa Indonesia, maka kegiatan pengkajian bahasa daerah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja,akan tetapi menjadi tanggung jawab kita semua khususnya bagi masyarakat penutur bahasa itu sndiri.
    Bahasa Muna dialek Gu-Mawasangka adalah salah satu bahasa yang hidup dan dipelihara masyarakat pendukungnya. Penutur bahasa Muna dialek Gu-Mawasangka (selanjutnya disebut BMDGM) berpusat ditiga kecamatan, yakni kecamatan Mawasngka, kecamatan Gu, dan kecamatan Lakudo. Kabupaten Dati II Buton yang berlokasi di bagian selatan pulau Muna), Sulawesi Tenggara (Mulya, 1990:11).
    Yatim (1997) menyatakan bahwa bahasa Wuna (bahasa Muna) terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Gu-Mawasangka dan dialek Tonkuno. Oleh karena itu, dalam penelitian struktur bahasa Muna yang dipilih sebagai sampel adalah dialek Tongkuno, dialek Gu- Mawasangka tidak termasuk obyek yang diteliti.
    Berg (dalam Mulya, 1994:2) dalam disertainya A grammars of the Muna language mengelompokan bahasa Muna kedalam tiga dialek, yakni (1) dialek Muna standar, (2) dialek Tiworo, dan (3) dialek Selatan (Gu-Mawasangka, Siompu).
    Dialek Muna standar diunakan secara luas dan paling besar pengaruhnya, terdapat dibagian tengah dan antara pulau Muna. Dialek Tiworo-Kepulauan (Tikep) berlokasi di bagian barat laut Muna, sedangkan dialek selatan berlokasi di bagian selatan pulau Muna, yakni kecamatan Gu, kecamatan Lakudo, dan kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton. Dialek selatan disebut Gu- Mawasangka yang mempunyai pengaruh yang luas sampai di bagian selatan Bau-Bau dialek Siompu yang akan berbeda dengan dialek Gu-Mawasangka juga di masukan dialek selatan.
    Bahasa Muna dialek Gu-Mawasangka (BMDGM)  sampai sekarang masih tetap berpengaruh dalam komunikasi sosial kemasyarakatan, bahkan digunakan sebagai bahasa pengantar pada kelas-kelas permulaan di lingkungan Sekolah Dasar (SD).
    Melihat fungsi dan peranan BMDGM cukup besar dalam masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih khusus terhadap salah satu aspek bahasa itu. Penelitian terhadap BMDGM pernah dilakukan oleh masyarakat sebelumnya, antar lain, (1) “struktur bahasa Mawasangka”, tahun 1982/1983 oleh Mursalim, etal (2)”Morfologi dan bahasa sintaksis Bahasa Mawasangka”, tahun 1986 dan (3)“Sistem Morfologi Verba Bahasa Mawasangka”, tahun 1992 oleh Mulya,etal. Pada penelitian itu verba telah disinggung, tetapi hanya pada salah satu cirinya saja yaitu Morfologi Verba.
    Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa deskrisi BMDGM pernah diteliti sebelumnya namun sepanjang pengetahan peneliti kajian secara mendalam terutama menyangkut perilaku sinraksis verbal belum pernah dilakukan penelitian ini dengan judul “Perilaku Sintaksis Verba Bahasa Muna dialek Gu-Mawasangka”, cukup beralasan dilakukan sebagai upaya kelanjutan dari penelitian sebelumnya, dan cukup menarik untuk diteliti karena disamping mengenal perilaku sintaksis verba yang bisa diamati melalui frasa verbal dan jenis-jenis frasa verbal menurut perilaku sintaksisnya, juga mngenai jumlah afiks yang selalu melekat pada verba.
    Perilaku sintaksis verba yang diamati melalui frasa verbal, dalam BMDGM dapat ditandai oleh kemungkinannya berpadu dengan partikel, seperti poangka ‘sambil’, ndo ‘baru’, dan maka ‘akan’.
1)    Nofonda poangka  nelagu        ‘memasak sambil menyayi’
2)    Anoa ndo nofoma            ‘dia baru makan’
3)    Maka nopogau                ‘akan berbicara’
Selain mengenal perilaku sintaksis verba yang diamati melalui frasa verba, dalam BMDGM juga mengenal sejumlah afiks yang keberadanya tergantung pada pronommina yang mengisi subjek, yang diiisi oleh pronomina persona pertama tunggal inodi, dan jamak insaodi ‘kami’ atau intaodi ‘kita’. Afiks yang melekat pada verba adalah a_ untuk tunggal dan ta untuk jamak, subjek yang diisi oleh pronomina persona kedua ihintu’kamu’. Afiks yang melekat adalah o. Subjek yag diisi oleh pronomina ketiga tuggal anoa ‘dia’ dan jamak  andoa ‘mereka’. Afiks yang melekat pada verba adalah no-/ne- untuk tunggal, afiks no dipakai pada kalimat yang memerlukan objek (intransitif) dan dalam kalimat pasif.afiks ne dipakai pada kalimat yang memrlukan objek (transitif) dalam kalimat aktif , dan do intuk jamak. Selain itu ada juga pronomina yan mengandung makna aspek yang menentukan suatu tindakan yang akan berlaku, pronomina tersebut ditandai dengan kata nae juga dapat menduduki fungsi sebagai preposisi.

1.1.2    Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah perilaku sintaksis verba Bahasa Muna Dialek Gu- Mawasangka?”

1.2    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan perilaku sintaksis verba Bahasa Muna Dialek Gu- Mawasangka.

1.2.2    Manfaat Penelitian
Hasil penellitian ini diupayakan dapat bermanfaat bagi (1) pengembangan teori linguistik atau sekurang-kurangnya dapat memperkaya khazanah teori linguistik, (2) menjadi relevansi untuk pembinaan dan pengembangan bahasa- bahasa daerah khususnya BMDGM, sekaligus menjadi penopang bagi pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia, (3) kepentingan pengarah bahasa terutama berkaitan dengan teori-teori tentang perilaku sintaksis verba, mulai tingkat permulaan hingga tingkat pendidikan tinggi, khususnya lembaga pendidkan, tenaga kependidian dan memberikan kurikulum muatan lokal BMDGM, (4) pedoman atau perangsang bagi peneliti berikutya, baik dalam objek yang sama ataupun dengan objek yang lain tetapi berhubungan dengan perilaku sintaksis verba BMDGM.

1.3    Batasan Operasional
1.    perilaku sintaksis verba dalam penelitian ini adalah posisi verba dalam hubunganya dengan kontruksi yang lain dalam tataran gramatiakal yang lebih tinggi, khususnya dalam frasa, klausa dan kalimat.
2.    BMDGM adalah sala satu bahasa yang hidup dan dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Penutur BMDGM berpusat di tiga kecamatan, yakni kecamatan Mawasangka, kecamatan Gu, dan Kecamatan Lakudo, kebupaten Dati II buton (yang berlokasi dibagian selatan pulau Muna), Sulawesi tenggara.
















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1    Verba
2.1.1     Batasan Verba
Secara tradisional, verba didefenisikan sebagai kata yang menyatakan perilaku atau perbuatan(Keraf, 1984: 64). Batasa ini hanya melihat verba dari segi makna semata, tanpa memperhitungkan aspek struktur.
    Namun pandangan ahli-ahli  bahasa yang tidak berpandangan tradisional (misalnya ahli liguistik moderen) dalam melihat kategori verba. Para ahli ini jarang memberikan batasan verba. Mereka justru lebih banyak melihat keberadaan kata dalam struktur atau konteks yang lebih besar. Robins(1979: 259-261) mengatan bahwa penggolongan kata harus didasarkan pada ciri morfologi dan perilaku sintaksis yang selanjutnya lebih menekankan pada perilaku sintaksis, pandangan tersebut di kemukakan pula Kridalaksana (1984:205). Bahkan Moeliono et.al. (1988:76) mengemukakan bahwa untuk menentukan sebuah kata verba atau bukan dapat dilihat dari (1) bentuk  morfologis, (2)  perilaku sintaksis, dan (3) perilaku senantiasa secara menyeluruh dalam kalimat. Dengan demikian, dalam menentukan sebuah kata termasuk verba atau bukan, kita dapat menggunakan ciri morfemis, perilaku sintaksis dan segi simantis makna (dalam Konisi 1999: 6).

2.1.2 Ciri-ciri Verba
2.1.2.1 Ciri Morfemis
    Keraf (1984:86) mengemukakan bahwa untuk mengemukakan suatu kata, secara struktur berkategori verba atau bukan digunakan dua cara, yakni cara Morfologis sebagai prosedural penentuan. Secara Morfologis, semua kata dapat dicalonkan sebagai verba apabila kata-kata tersebut memiliki afiks meng-nber-,kan, di, dan-i. Kata-kata tersebut baru dicalonkan verba, belu menjadi verb,a walaupun demikian, Keraf mengakui pula bahw tedapat sejumlh kata yang tidak memiliki afiks-afiks tersebut,tetapi secara tradisional digolongkan sebagai verba seperti, tidur, datang, pergi, tinggal. Kenyataan ini kemungkinan untuk dipergunakan kriteria sintaksis (pada tingkat frasa) sabagai tingkat penentuan. Smua kata dapat digolongkan kedalam verba aap bila dapat diperluas dengan frasa  dengan+ kata sifat, misalnya Wati berjalan dengan tepat, kakak tidur dengan nyeyak. Kata berjalan, tidur, dapat dianggap sebagai verba karena dapat diperluas dengan  ciri diatas (dalam Konisi, 1999:7).
    Moeliono et.al. (1988:77-79) mengemukakan bahwa bahasa Indonesia pada dasarnya memiliki dua macam bentujk verba, yakni (1) verba asal: verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis dan (2) verba tuturan: verba yang harfus atau dapat memakai afiks, bergantng pada tingkat keformalanbahasa dan/ atau pada posisi sintaksisnya. Verba turunan dibagi lagi menjadi tiga sub kelompok, yakni (1) verba turuna dengan dasar bebas, tetapi memerlukan afiks supay berfungsi sebagai verba, (2) verba turunan dengan dasar bebasyang dapat pula memiliki afiks, (3) verba turunan dengan dasar terikat yang harus membutuhkan afiks. Disamping tiga subkelompokini ada lagi verba yang berbentuk reduplikasi atau juga paduan kata (majemuk).

2.1.2.2 Ciri Sintaksis
    Moeliono et.al. (1988:76) mengemukakan bahwa secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektifa, karena ciri sebagai berikut.
a.    Verba berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fingsi lain.
b.    Verba mengandung makna dasar perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas.
c.    Verba, khususnya makna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti paling. Satu ciri yang umunya dapat membedakan keduanya ialahdapatnya prefiks ter- yang berarti paling ditambahkan pada adjektiva dingin dan sulit dapat dibentuk terdigin dan  tersulit, tetapi dari kata suka tidak dapat dibentuk tersuka.
Kridalaksana (1990:49) mengemukakan bahwa sebuah kata dapat dikatakan berkategori atau bukan, dapat dilihat dari perilakunya dalam frasa, yakni (1) kemungkinan kata itu didampingi partikel tidak dan (2) kata itu tidak dapat didampingi oleh pertikel di,ke, dari, sa   ngat,  atau agak. Pandangan ini mirip dengan pandangan Ramlan (1985 : 50) dengan menyatakan bahwa verba adalah kata yang pada (1) tataran frasa dapat dinegatifkan dengan kata tidak, (2) pada tataran klausa cenderung menduduki fungsi predikat, (3) kemugkinanya dapat diikuti oleh frasa dengan sangat + kata yang berfungsi sebagai keterangan cara.
    Pandangan yang dikemukakan oleh ahli di atas saling melengkapi. Mereka sama-sama menekankan keberadaan suatu kata dalam strukturnya atau dalam kontruksi yang lebih besar.

2.1.2.3 Segi Semantik Makna
    Moeliono et.al. (1988 : 76-77) mengemukakan bahwa verba memiliki makna inheren perbuatan  seperti  lari, belajar, makna inheren proses seperti meledak, mengering, mengecil, makna inheren keadaan seperti suka, benci.
    Dalam BMDGM umumnya ditemukan verba yang menunjukan suatu tindakan  akan, sedng atau sudah berlalu ditandai oleh tangasano,neo, ndo, dan maka, Kata-kata itu sebagai atribut.

2.2 Perilaku Sintaksis Verba
    Yang dimaksud dengan perilaku sintaksis verba ialah sifat verba dalam tataran gramatikal yang lebih tinggi khususnya dalam frasa, klausa dan kalimat.perilaku yang dimaksud dapat diketahui dengan baik mengamati frasa verbal, fungsi verba dan frasa verbal dan jenis-jenis verba menurut perilaku sintaksisnya.




2.2.1 Frasa Verbal
    Frasa verbal ialah satuan bahasa yang berbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya dan tidak merupakan klausa. Pengertian di atas dikemukakan pula oleh Francis (1958 : 334) “Frasa verbal adalah modifikasi dulunya berupa verba atau kata kerja”. Dengan demikian frasa verbal mempunyai inti dan kata lain yang mendampinginya. Posisi kata pendamping ini tegak (fixsed) sehingga tidak dapat dipindahkan secar bebas ke posisi lain. Perlu ditegaskan bahwa subjek, objek dan pelengkap tidak termasuk verbal.
    Samsuri (1982:11) mengemukakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan-ungkapan yang menyatakan kegiatan-kegiatan orang. Pada umumnya kata-kata yang menunjukan kegiatan dapat dinyatakan dengan kalimat tangya “(pokok) sedangkan apa”? jawaban pada kalimat tersebut oada umumnya berbentuk seperti (a) (sedang) tidur, (b) (sedang) membaca koran dan (c) (sedang) membeli mangga. Ungkapan-ngkapan yaitu tidur, membaca dan membeli mangga mempunyai pokok tidur, membaca dan membeli masing-masing yaitu kata-kata yang disebut verba. Oleh karena itu, baik,tidur, membaca koran,maupun membeli mangga disebut frasa verbal.
    Dalam BMDGM frasa verbal dapat ditandai oleh kemungkinan berpadu dengan partikel,seperti  poangka ‘sambil’ yang dilekatkan pada verba misalnya poangka nelagu ‘sambil menyayi’, partikel maka ‘ akan’ misalnya maka nopogau ‘aka berbicara’ dan partikel ndo ‘ baru’ misalnya ndo nofuma ‘baru makan’.
    Dilihat dari kontruksinya, frasa verba dapat terdiri atas verba inti dengan kata lain yang bertindak sebagai penamba artu verba tersebut.Kontruksi sudah membaik akan mendarat pada contoh (1) kesehatanya sudah membaik, (2) pesawat itu akan mendarat, merupakan jenis verbal yang berbentuk endosentrik atributif. Frasa verbal seperti makan dan minum, menyayangi atau menari masing-masing mempunyai dua verba inti yang dihubungkan dengan kata dan dan atau. Frasa seperti ini disebut frasa endosentrik koordinatif.

2.2.1.1 Frasa Verbal Endosentrik Atributif
    Seperti yang dikatakan di atas, frasa verbal yang endosentrik atributif terdiri atas inti verba dan pewatas (modifier) yang ditembatkan di muka atau di belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang di belakangnya dinamakan pewatas belakang. Tidak ada pewatas yang wajib.
    Frasa verbal yang endosentrik atributif adalah frasa endosentrik ayributif yang pusatnya berjenis kata kerja (Wirjasoedarmo, 1985 : 335).

2.2.1.2 Frasa Verbal Endosentrik Koordinatif
    Wirjasoedarmo, (1985:333) mengemukakan bahwa frasa verbal endosentrik koordinatif adalah frasa endosentrik koordinatif adalah frasa endosentrik koordinatif yang unsur-unsurnya berjenis kata kerja. Selain pendapat tersebut, Cook (dalam Tarigan , 1983:54) mengemukaka bahwa frasa koordinatif verbal adalah gabungan dua atu lebih kata verba.
    Wujud frasa endosentrik koordinatif verbal sangatlah sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan  atau  atau. Tentusaja sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan dan pewatas belakang.
2.2.2 Analisis Fungsi
    Jika ditinjau dari segi fungsinya, verba dalam kontruksi klausa terutama menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, dan keterangan (dengan peluasaanya berupa objek pelengkap dan keterangan).

2.2.2.1 Verba dan Frasa Verbal Sebagai subjek
    Pada umumnya verba yang berfungsi sebagai subjek verba adalah verba inti, tanpa pewatas depan ataupun  pewatas belakang. Jika verba ini memiliki unsur lain seperti objek dan keterangan, maka unsur itu akan ikut menjadi bagian dari subjek. Lihatlah contoh berikut.
(a)    Membaca telah memperluas wawasan pikiranya
(b)    Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
Dalam kalimat (a) dan (b) subjeknya ialah verba membaca  dan bersenam setiap pagi.

2.2.2.2 Verba dan Frasa verbal Sebagai Objek
    Dalam kalimat yang berikut  verba dan frasa verbal dengan perluasanya berfungsi sebagi objek.
(a)    Dia sedang mengajar  menari  pada adik saya.
(b)    Dia mencoba tidur tanpa bantal.
Dalam kalimat (a) verba menari adalah objek dari predikat  sedang mengerjakan. Dalam kalimat (b) yang sebagai objek verba  tidur.


2.2.2.3 Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
    Verba dan frasa verbal beserta perluasanya dapat juga berfungsi sebagai pelengkap dalam kalimat , seperti pada contoh berikut.
(a)    Dia tidak merasa  bersalah.
(b)    Dia sudah berhenti merokok.
Verba (beserta perluasannya) bersalah  dan merokok berfungsi sebagi pelengkap dari predikat merasa dan  berhenti. Masing-masing predikat merasa dan  berhenti tidak lengkap, dan dengan demikian predikat yang bersangkutan tidak berteriam jika tidak diikuti oleh pelengkap.

2.2.2.4 Verba dan Verbal Pelengkap Sebagai Keterangan.
    Dalam kalimat yang berikut verba dan frasa verbal (beserta dengan perluasanya) berfungsi sebagai keterangan.
(a)    Ibu pergi berbelanja
(b)    Mereka baru saja pulang bertamasya.
Dari contoh di atas nampak bahwa ada dua verba yang letaknya berurutan:
Yang pertama merupakan predikat dan yang kedua bertindak sebagai keterangan.pada kaloimat (a) terselip pengertian ‘maksud’ atau ‘tujuan’ dari perbuatan yang menyatakanpredikat.karena itu, kata untuk dapat disisipkan untuk : pergi untuk berbelanja, sedangkan pada kalimat (b) terselip pengertian asal dan oleh sebab itu dapat disisipkan kata dari ; pulang dari bertamasya.





2.2.2.5 Verba dan Frasa  Verbal Sebagai Atributif
    Verba dan frasa verbal juga dapat berfungsi sebagai atributif untuk memberikan keterangan tambahan pada nomina. Dengan demikian sifat itu ada pula pada tataran frasa. Pandangan yang sama dikemukakan pula oleh sugono (1991:30).
(a)    Anjing tidur tak boleh diganggu.
(b)    Negara itu sedang berada dalam  situasi yang mengkhawatirkan.
Frasa verbal tak boleh diganggu, mengkhawatirkan di atas berfungsi sebagai atribitif dalam frasa verbal tidur tak boleh digaggu dan situasi mengkhawatirkan.Fungsi atributif seperti itu merupakan bentuk pemendekan dari bentuk yang lain yang memakai kat  yang.

2.2.2.6 Verba dan Frasa Sebagai apositif
    Verba dan frasa verbal (dengan perluasanya) dapat juga berfugsi sebagai apositif yaitu sebagai keterangan yang ditambahkan atau diselipkan, seperti yang terdapat dalam kalimat berikut.
(a)    Pekerjaanya, mengajar, sudah ditinggalkanya.
(b)    Usaha pak suroyo, bardagang kain, tidak begitu maju.
Verba dan frasa verbal (dengan perluasanya)  mengajar,berdagang,dalam kalimat di atas berfungsi segai aposisi. Kontruksi tersebut masing-masing menambah keterangan pada nomina pekerjaanya dan frasa nomina .



2.2.3 Klausa Kalimat Verbal
    Cook (dalam Tarigan, 1987:38) mengemukakan bahwa klausa verbal adalah klausa yang predikatnya verbal. Pandangan tersebut dikemukakan pula oleh Kridalaksana (1994:236).
    Chaer (1994:112) mengemukakan bahwa karena konstituen dasar kalimatnya biasanya adalah klausa, maka pembicaraan mengenai kalimat verbal sejalan dengan pembicaraan mengenai klausa verbal. Jadi, secara umum dapat dikatakan kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klauasa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frasa yang berkategori verba.
Contoh
(a)    Kaca jendela itu  pecah.
(b)    Orang tuanya bertani.
Dalam klausa/kalimat (a) dan (b) verbah pecah dan bertani berfungsi sebagai predikat.
Berdasarkan struktur internalnya verba dalam tataran klausa/kalimat terbagi atas dua yaitu verba transitif dan intransitif yang dapat diidentifikasi dengan mengamati keterkaitan kata lain yang mengembang fungsi tersebut dengan verba yang bersangkutan tentu saja keterkaitan itu tidak lepas dari perilaku semantis.
    Kridalaksana (1990:50-51) mengemukakan bahwa dilihat dari banyaknya nomina yang mendampingi verba dibagi atas verba intransitif yaitu verba yang menghidarkan objek dan verba transitif yaitu verba yang mempunyai atau harus mendampingi objek. Verba transitif ini dibagi atas verba monotransistif, verba bitransitif, dan verba distransitif.

2.2.3.1 Verba Transitif
    Moeliono et.al. (1988:136) mengatakan bahwa dari segi sintaksis  transitif verba ditentukan oleh dua faktor (1) adanya nomina yang berdiri di belakang verba yang berfunsi sebagai objek dalam kalimat aktif dan  (2) kemungkinan objek itu berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif. Kedua fakhtor tersebut diarahkan pada kalimat yang diisikan oleh verba transitif. Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai objekdalam kalimat aktif, dan objek itu berfungsi sebagai subjek dala kalimat pasif. Verba transitif dibedaka atas verba ekatransitif, verba dwitransitif dan verba semitransitif.
    Verba transitif adalah verba yang selalu mempunyai komplemen(objek) dalam kalimat aktif serta dapat mempunyai bentuk pasif (Francis, 1958). Didasarkan pada efenisi itu, ada dua ciri pokok yang dimiliki oleh verba transitif, yakni harus mempunyai komplemen (objek) dan verba transitif dapat muncul, baik dalam kalimat aktif maupun dala kalimat pasif.
    Dalam Bahasa Muna dialek Gu- Mawasangka bentuk- bentuk verba sebagai fokus ba
(a)    Ama nekabua kenta ‘ayah memancing ikan’.
Kontruksi kalimat di atas dianggap sebagai kalimat aktif dengan afiks ne-yang melekat pada verba  kabua.  Kalimat ini memilikiunsur subjek ama,predikat,danobjek nekabua kenta.

2.2.3.2 Verba Semitransitif dan taktransitif
    Verba taktransitif  adalah verba yang tidak memiliki  nomina di belakang yng dapat berfugsi sebagai subjek dala kalimat pasif. Jika dilihat dari segi (verba transitif berpelengkap). Contoh dalam kalimat berikut.
(a)    Bajunya berwarna kuning.
(b)    Dia kedinginan.
Pada kalimat (a) adalah verba berpelengkap, dan pelengap verba itu harus hadir dalam kalimat.jika pelengkap itu tidak hadir , kalimatnya yang bersangkutan tidak  sempurnah dan tidak berterima.pelengkap seperti dua puluh harusselalu hadir pada verba berjumlah. Maka verba utu juga sisebut verbataktransitif berpelengkap wajib. Pada kalimat (b) pelengkap tidak selalu hadir, maka verba berpelengkap mana, suka seperti itu dapat juga disebut verba semitransitif – taktransitif, pada kalimat (c) disebut verba tak berpelengkap (verba taktransitif).
    Verba transitif ialah verba yang dapat muncul dalam kalimat aktif tanpa komplemen atau objek(Francis, 1958 dalam Mulyo, 1994:84).
    Dalam BMDGM verba ini terdiri atas monofofemis dan polimorfenis. Verba intransitif monomorfemis misalnya ende ‘naik’  kala’ pergi dan tende;lari’ contoh-contoh ini merupakan verba dasar yang tidak terdapat sebagai bentuk bebas.
Umumnya bentuk ini jarang digunakan berdiri sendiri sehingga harus selalu beribuhan sebagai bentuk kata, misalnya ina noende tae lambu .’ ibu naik di rumah’.Verba intransitif polimorfemis harus melalui suatu proses afiksasi, misalya prefiks ne- dengan nomina buha menjadi nebuha ‘ memakai bedak’.
2.2.3.3 Verba Berpreposisi
    Verba berpreposisi adalah verba tak transitif yang selalu diikuti oleh preposisi tertentu, seperti yang terdapat kalimat yang berikut.
(a)    Saya sering berbicara tentang hal ini.
(b)    Saya berminat pada musik.
    Ada di antara verba berpreposisi yang hampir sama artinya dengan verba transitif.
Misalnya:
    Berbicara tentang    = membicarakan tentang
    Cinta pada/akan    = mencintai
    Suka/akan        = menyukai
    Tahu akan/tentang    = mengetahui
    Bertemu dengan    = menemui
    Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian verba berpreposisi, pertama orang sering memakai bentuk yang transitif, tetapi masi mempertahankan preposisinya sehingga terjadilah kesalahan sebagai berikut:
(a)    Saya tidak mengetahui tentang soal itu.
(b)    Kami belum membicarakan tentang usul anda.
Malahan terdapat juga kalimat pasif dengan frasa preposisional sebagai subyak, seperti:
(a) Tentu usul anda belum dibicarakan.
    Seharusnya, jika orang memakai verba yang transitif, janganlah menyertakan preposisi lagi.
    Kedua, dalam bahasa yang tidak baku, orang sering menghilagkan preposisi pada verba yang tak transitif . Orang itu sering mengatakan:
(a) Saya bertemu tetangga saya.
(b) Aku cinta mereka.
    Bertemu, seharusnya diikuti preposisi dengan dan  cinta seharusnya diikuti  pada atau akan.
    Selanjutnya perlu diperhatiakan bahwa bagian kalimat saya mengikkuti verba berpreposisi, seperti hal ini (a) musik (b) berfungsi pelengkap atau keterangan.Tetapi jika verba berpreposisi yang bersangkutan diubah menjadiberafiks meng- seperti mengetahui (mengganti lahu akan), maka bagian kalimat yang mengikutinya berfungsi menjadi obyek.
   
















BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1 Metode Penelitian
    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode deskriptif. Metode itu terutama behubungan dengan pengumpulan data, pengkajian data, dan penyajian data dalam laporan penelitian. Penggunaan metode ini bertujuan membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti(Djajasudarma, 1993:8).

3.1.2 Jenis Penelitian
    Penelitian ini tergolong penelitian lapangan, karena data-data dalam penelitian ini diperoleh di lapangan sesuai dengan masalah penelitian.

3.2  Data dan Sumber Data
    Sumber data dalam penelitian ini yaitu data bahasa lisan yang berupa tuturan-tuturan dalam frasa, klausa, dan kalimat yang memuat aspek-aspek yang diteliti yang dipergunakan masyarakat Mawasangka di Kelurahan Watolo Kecamatan Mawasangka. Dalam memperoleh bahasa lisan ditempuh dengan dua cara yaitu data yang diperoleh secara leps, misalnya merekam percakapan di tempat-tempat tertentu, dan data yang dipersiapakan peneliti berupa seperangkat kontruksi perilaku sintaksis verba BMDGM yang variasi-variasinya secara tertulis kemudian diverifikasi kepada informan untuk dicek kebenrannya.
    Data bahasa lisan diperoleh dari sejumalah informan penutur asli BMDGM.
Peneliti menggunakan beberapa informan, yaitu satu orang sebagai informan utama yang dipilih dari tokoh masyarakat dan dua orang sebagai informan tambahan yang berasal dari masyarakat biasa yang berfungsi sebagai pelengkap.Kriteria yang diacu dalam penelitian ini terutama (1) penutur asli BMDGM dan berdomisili dilokasi penelitian, (2) jarang meninggalkan/ daerah lokasi penelitian, (3) memiliki alat-alat artikulasi yang normal,(4) sadar memahami apa yang diajukan peneliti, (5) sabar,jujur, dan terbuka setia pertanyaan yang diajukan kepadanya (Konisi, 1999:6).

3.3.2 Teknik Pengumpulan Data
    Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam atau catat,(Sudaryanto, 1992:33). Selain itu, setelah data terkumpul, peneliti juga menggunakan teknik intropeksi mengenai teknik elisitasi (Djajasudarma, 1993 : 61).Teknik  intropeksi dan teknik elisitasi digunakan karena peneliti juga adalah penutur asli BMDGM. Teknik rekam dengan pertimbangan bahwa data yang diteliti berupa data lisan. Teknik ini dilkukan, baik dengan berencana dan sistematis maupun dengan serta merta (sadap rekam). Teknik rekam merupakan teknik utama. Teknik catat hanya sebagai korelasi terhadap hasil rekaman yang kurang jelas.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
3.4.1 Metode Analisis Data
    Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan semantik. Pendekatan ini sesuai dengan objek penelitian, yakni perilaku sintaksis verba BMDGM yang dikaji berdasarkan aspek struktur dan makna. Pendekatan struktural yang digunakan sejalan dengan pandangan Saussure(1916) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem yang unsu-unsurnya saling berhubungan untuk membentuk kesatuan yang utuh (dalam Djajasudarma, 1993 : 167). Pendektan semantik digunakan sehubungan dengan peran yang terdapat dala struktur sintaksis, baik sebagai pelaku, penderita, pengalam,aktif maupu pasif (Verhaar, 1996 : 167). Baik pendekatan struktural maupun pendekatan semantik, keduanya dapat ditrapakan dalam metode analisis distribusional.
    Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis distribisional atau metode agih (oposisi dari metode analisi padan) menggunakan alat penentu unsur itu sendiri. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme Saussure (1916) bahwa setiap unsur bahasa berhubungansatu sama lain membentuk satu kesatuan yang padu. Metode ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian(Djajasudarma, 1993 : 60, Sudaryanto,1993 : 15).

3.4.2 Teknik Analisi Data
    Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ii adalah teknik pilah unsur langsung, yaitu memilah data berdasarkan satuan lingual menjadi beberapa bagian atau unsur. Unsur-unsur ini selanjutnya dipandang sebagai bagian atau unsur yang langsung membentuk satuan lingual yang lebih besar. Ada dua teknik dalam  metode analisis distribusional ini, yakni teknik kajian menurut (Top dowm) dan teknik analisis naik (botom up) (Djajasudarma, 1993 : 61).
                                         Ina nofonda poangka nolagu


Ina                       nofonda poangka nolagu
       
Nofanda                                poangka nolagu


 Poangka                                       nolagu
Pada kalimat di atas ina nofonda pongka nolagu’ ibu memasak sambil menyanyi, perilaku sntaksis verbanya  yaitu pada kontruksi nofonda poangka nolagu’ memasak sambil menyayi’yang merupakan frasa verbal yang dihubungkan oleh partikel poangka ‘sambil’, dengan verbal nofonda ‘memasak, dan nelagu ‘menyanyi’ menjaadi inti, dengan poangka ‘ sambil’ sebgai penghubung’Teknik top down dalam menganalisis perilaku sintaksis verba dalam kontruksi klausa/kalimat berfungsi sebagai predikat.


Ina nofonda ali


Ina                                              nofonda oli


Nofonda                                            oli

No                            fonda

Pada klausa atau kalimat di atas ina nofond oti ‘ ibu memsak naasi’, dengan kata ina ‘ibu’ berfungsi sebagai subjek, nofonda ‘memasak’ pada kalimat di atas berfungsi sebagai predikaat denga verba dasar fonda ‘maasak’, ditambah dengan prefiks no’ me’. Jadi perilaku sintaksis verbal nofonda ‘memasak  pada kalimat di tas berfungsi sebagai predikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar