Senin, 04 Juni 2012

Peran Media Massa dalam Perekonomian


Peran  Media Massa dalam Perekonomian
Media massa merupakan institusi yang menyediakan segala macam jenis informasi untuk diberikannya kepada masyarakat umum. Media massa menjalankan fungsinya sebagai penyedia dan pemberi informasi melalui berberapa channel diantarnya adalah seperti televisi, surat kabar, radio, majalah, dan internet. Eksistensinya saat ini sangat penting bagi masyarakat dalam terutama acuan dalam pengambilan keputusan. Selain itu media massa dapat mengumpulkan opini-opini dari individual yang dirangkumnya menjadi sebuah opini publik.
Media massa kini telah menjadi industri. Tolak ukur dari adanya media massa adalah sistem demokrasi. Semakin demokratis suatu negara maka semakin banyak jumlah media massa yang bebas. Semakin banyak jumlah media massa yang bebas maka semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu biasanya media massa berkembang di negara-negara maju dan berkembang yang menerapkan sistem demokrasi.
Media massa merupakan salah satu penyokong pembangunan suatu negara. Perannya adalah dengan meyediakan informasi-informasi yang bertujuan untuk pembangunan suatu negara. Lebih rinci lagi, dalam aspek ekonomi peran media massa sangat signifikan. Dalam teori rational expectations seorang manusia yang rasional akan menggunakan seluruh informasi yang tersedia untuk membuat ekspekstasi. Informasi-informasi tersebut selain datang dari komunikasi dua arah maupun lebih juga bisa diperoleh melalui media massa. Informasi-informasi yang diberikan oleh media massa adalah informasi berupa opini, fakta, argumentasi, prediksi, sampai rumor dalam perekonomian. Dari informasi-informasi tersebutlah biasanya individu maupun kelompok membuat suatu keputusan ekonomi yang disampaikan media massa.
Coyne dan Leeson (2004) menjelaskan tentang setidaknya terdapat empat cara di dalam media massa yang bebas untuk memperoleh keberhasilan dalam perkembangan ekonomi. Pertama, adalah dengan memprivatisasi seluruh aspek yang ada di dalam industri media. Perusahaan media harus sepenuhnya terprivatisasi supaya efektif karena dengan adanya keterlibatan pemerintah akan mengganggu kredibilitas media tersebut dan memiliki potensi dari pengaruh-pengaruh politik.
Kedua, adalah dengan membuka batasan-batasan dari luar terhadap media dan investasi asing. Selain membantu dalam privatisasi media, media asing juga dapat menambah sumber informasi-informasi yang ada di luar negeri.
Ketiga, adalah masalah permintaan konsumen. Adanya kekurangan dalam permintaan konsumen terhadap informasi akan menyebabkan tidak berjalannya mekanisme dalam mengkoordinasikan peraturan dan kebijakan dalam perkembangan ekonomi
Krisis Ekonomi
Ekonomi memiliki sebuah siklus yang terus berulang-ulang. Terdapat periode boom yaitu ketika ekonomi sedang mencapai puncaknya (ditandai dengan inflasi yang relatif lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi naik, tingkat pengangguran menurun) dan terdapat juga periode resesi yaitu ketika ekonomi sedang dalam fase krisis (ditandai dengan inflasi rendah/bahkan deflasi, pertumbuhan ekonomi terkontraksi, tingkat pengguran meningkat).
Sejarah ekonomi global mencatat setidaknya terdapat dua krisis ekonomi terbesar dalam periode satu abad terakhir yaitu resesi ekonomi tahun 1930an dan krisis finansial global tahun 2008. Selain dua krisis besar tesebut, perekonomian negara-negara di dunia juga telah dilanda krisis-krisis lainnya seperti krisis Amerika Latin dan krisis moneter Asia 1997-1998 dan krisis-krisis lain yang skala dan dampaknya relatif lebih kecil dibandingkan dua krisis besar tadi. Dalam artikel ini akan memusatkan pada krisis finansial global 2008 yang melanda perekonomian negara-negara maju dan sebagian negara berkembang di dunia.
Krisis finansial global tahun 2008 berawal dari krisis sub prime mortgage di Amerika Serikat. Menurunnya trend suku bunga Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir sebelum terjadinya krisis membuat geliat pada sektor perumahan AS. Untuk mewujudkan “American Dream” yaitu bahwa setiap orang di Amerika Serikat dapat memiliki rumah sejumlah perbankan AS berlomba-lomba untuk menawarkan KPR kepada warga AS dengan bunga yang murah.
Namun, booming sektor properti AS pada tahun 2007 membuat perbankan kalang kabut lantaran adanya kredit macet dari para debitor. Adanya default dari para debitor KPR disebabkan oleh perbankan yang tidak memperhatikan aspek kelayakan debitor dalam menerima KPR. Perbankan berani memberikan kredit kepada orang-orang yang dikategorikan sebagai “NINJA No Income, No Jobs, No Assets”. Krisis tersebut berdampak luas lantaran kredit sub prime mortgage tersebut dijadikan instrumen derivatif oleh perbankan untuk diperjualbelikan kembali.[1]
Puncak dari krisis tersebut adalah kolapsnya bank-bank investasi seperti Lehman Brother dan bank lain yang masih dapat diselamatkan oleh pemerintah AS. Kolapsnya Lehman Brothers membuat pasar keuangan global anjlok. Indeks-indeks saham global seperti Dow Jones dan Hangseng turun drastis. Para investor kebanyakan panik dan menciptakan tekanan jual pada instrumen-instrumen keuangan di tiap pasar domestik. Selain berdampak pada pasar keuangan, perekonomian juga mengalami perlambatan dengan ditandai oleh menurunnya global demand. Kondisi tersebut membuat pertumbuhan negara-negara OECD dan negara-negara lain yang bergantung pada ekspor-impor, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia mengalami kontraksi pertumbuhan yang cukup signifikan.[2]
Media Massa dan Krisis Ekonomi
Setelah membahas tentang peran media massa dalam perekonomian dan krisis finansial global 2008, selanjutnya adalah mencari kaitan antara peran media massa tersebut di dalam krisis finansial global.  Dari berbagai informasi yang disajikan oleh media massa terdapat informasi yang sifatnya lebih spekulatif, jauh dari pendugaan emipiris atau lainnya, yang dikenal dengan rumor.
Rumor merupakan sesuatu yang sesuatu yang sifatnya masih bias, belum dipastikan kebenarannya. Rumor sering kali berhembus di dalam pasar keuangan khususnya dalam pasar saham. Selain dari komunikasi dua arah langsung, rumor sebagian besar berasal dari media massa. Bahkan berberapa surat kabar maupun berita di televisi seakan-akan melegalkan dari adanya rumor tersebut. Dalam pasar saham rumor sering dijadikan “alat pendongkrak” nilai saham suatu emiten. Namun rumor juga seringkali dapat menjatuhkan nilai saham suatu emiten atau sektoral.
Dalam krisis finansial 2008 terdapat beberapa faktor yang mengaitkan antara peran media dan krisis itu sendiri. Pertama pemberitaan yang dilakukan secara gencar oleh media (khusunya televisi dan internet), terutama setelah kolapsnya Lehman Brothers membuat para investor panik. Bursa-bursa saham global mengalami tekanan aksi jual. Sehingga otoritas bursa berberapa negara harus melakukan suspensi perdagangan untuk menghindari penurunan indeks yang lebih dalam. Para pemodal merespon berita-berita tersebut dengan langsung melarikan modalnya dari negara tujuan investasi. Kemudahan pelarian modal tersebut didukung juga dengan capital mobility yang semakin bebas di banyak negara dan semakin terintegrasinya pasar.
Kedua adalah semakin majunya teknologi dalam media massa membuat krisis semakin cepat terjadi. Melalui televisi dan internet yang semakin canggih, media massa dapat menyampaikan berita dengan sangat cepat. Bahkan, teknologi real time yang ada di pasar saham sudah dapat diakses oleh investor langsung sehingga memudahkan investor untuk mengambil keputusan. Selain itu munculnya berbagai situs portal ekonomi, seperti Market Watch, Reuters, Wall Street Journal, dan lainnya juga menambah akses informasi bagi pelaku ekonomi.
Ketiga adalah media massa sering kali membuat pemberitaan yang masih bersifat rumor. Kondisi tersebut membuat para pelaku pasar ragu-ragu dalam pengambilan keputusan. Contoh kasus yang terjadi yaitu saat langkah bailout yang akan diambil oleh pemerintah AS terhadap bank-bank dan perusahaan AS, banyak media massa yang menduga-duga bahwa perusahaan seperti General Motors, AIG, Citigroup maupun akan segera gulung tikar dan sebagainya. Banyak media menduga perusahaan-perusahaan tersebut tidak akan mendapat dana talangan dari pemerintah AS seperti yang telah dilakukan kepada Lehman Brothers. Meski pada akhirnya pemerintah AS menggelontorkan dana talangan US$700 milyar kepada 928 bank/perusahaan.[3] Dari penjelasan tiga faktor tersebut peran media massa di dalam krisis sangat signifikan. Informasi-informasi yang diberikan oleh media massa dapat membuat krisis terjadi lebih cepat. Frekuensi pemberitaan yang dilakukan secara terus menerus dan serentak membuat kepercayaan diri para pelaku ekonomi semakin runtuh. Selain itu informasi-informasi yang tidak berdasarkan fakta atau opini semata dapat diterjemahkan ke dalam rumor.
Selain faktor-faktor di atas, media juga memainkan peranan politik di saat terjadinya krisis. Krisis ekonomi yang menimpa negara-negara di dunia pada tahun 2008 membuat tekanan politik pada pemimpin-pemimpin negara tersebut. Di AS masalah dana talangan/bailout menjadi senjata bagi Partai Republik selaku oposisi untuk menyerang Partai Demokrat. Media dapat digunakan sebagai alat untuk menyerang politik di saat krisis melalui talk show atau seminar yang diatayangkan di televisi kepada publik dengan menghadirkan politisi-politisi oposisi.
Sama halnya di Indonesia, kebijakan penanggulangan krisis berupa penyelamatan nilai rupiah dan insentif fiskal menjadi sorotan bagi oposisi-oposisi. Selain politisi, bahkan “ekonom oposisi” pun turut menyoroti kebijakan pemerintah melalui acara/wawancara di media televisi maupun surat kabar. Kondisi tersebut tidak lepas dari netralitas media itu sendiri. Media massa yang dekat dengan kekuasaan saat krisis pemberitaannya akan condong lebih bersifat menenangkan atau bernada optimis. Sedangkan media yang dimiliki atau dekat dengan oposisi lebih condong melakukan pemberitaan yang frontal, bertubi-tubi, menyampaikan krisis yang melanda perekonomian dengan hiperbola. Oleh karena itu netralitas media massa sangat diperlukan untuk memberikan informasi-informasi yang wajar sesuai dengan realita tanpa dibumbui rumor-rumor.
Kesimpulan
Media massa memiliki peran cukup vital ketika ekonomi sedang krisis. Pemberitaan-pemberitaan yang disampaikan kebanyakan diterjemahkan negatif oleh para pelaku ekonomi. Selain itu intensitas pemberitaan yang tinggi di saat krisis juga semakin mempengaruhi keputusan para pelaku ekonomi. Namun, bukan berarti media massa tidak boleh menyampaikan realita yang ada, tapi kebanyakan pemberitaan yang ada lebih mementingkan “pendramaan krisis” itu sendiri untuk tujuan-tujuan lain.
Ditengah perilaku pelaku ekonomi yang sangat responsif dari adanya krisis, khususnya pelaku ekonomi di negara-negara berkembang (yang kebanyakan bertindak sebagai follower dari pelaku ekonomi negara-negara maju), sudah sepantasnya media massa menyampaikan pemberitaan-pemberitaan yang wajar
Selain itu media massa juga diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pemulihan krisis ekonomi. Media massa pasca krisis perannya lebih sebagai pengobat kepercayaan dirian pelaku ekonomi dengn memberikan informasi-informasi yang positif. Khususnya di negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang dalam krisis ekonomi 2008 memiliki eksposur yang rendah dalam perekonomian Indonesia secara umum karena fudamental ekonomi Indonesia yang masih baik dengan ditunjukkan oleh ekonomi yang tetap tumbuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar