Peran Media Massa dalam
Perekonomian
Media massa merupakan institusi yang
menyediakan segala macam jenis informasi untuk diberikannya kepada masyarakat
umum. Media massa menjalankan fungsinya sebagai penyedia dan pemberi informasi
melalui berberapa channel diantarnya adalah seperti televisi, surat
kabar, radio, majalah, dan internet. Eksistensinya saat ini sangat penting bagi
masyarakat dalam terutama acuan dalam pengambilan keputusan. Selain itu media
massa dapat mengumpulkan opini-opini dari individual yang dirangkumnya menjadi
sebuah opini publik.
Media massa kini telah menjadi
industri. Tolak ukur dari adanya media massa adalah sistem demokrasi. Semakin
demokratis suatu negara maka semakin banyak jumlah media massa yang bebas.
Semakin banyak jumlah media massa yang bebas maka semakin banyak informasi yang
diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu biasanya media massa berkembang di
negara-negara maju dan berkembang yang menerapkan sistem demokrasi.
Media massa merupakan salah satu
penyokong pembangunan suatu negara. Perannya adalah dengan meyediakan
informasi-informasi yang bertujuan untuk pembangunan suatu negara. Lebih rinci
lagi, dalam aspek ekonomi peran media massa sangat signifikan. Dalam teori rational
expectations seorang manusia yang rasional akan menggunakan seluruh
informasi yang tersedia untuk membuat ekspekstasi. Informasi-informasi tersebut
selain datang dari komunikasi dua arah maupun lebih juga bisa diperoleh melalui
media massa. Informasi-informasi yang diberikan oleh media massa adalah
informasi berupa opini, fakta, argumentasi, prediksi, sampai rumor dalam
perekonomian. Dari informasi-informasi tersebutlah biasanya individu maupun
kelompok membuat suatu keputusan ekonomi yang disampaikan media massa.
Coyne dan Leeson (2004) menjelaskan
tentang setidaknya terdapat empat cara di dalam media massa yang bebas untuk
memperoleh keberhasilan dalam perkembangan ekonomi. Pertama, adalah dengan
memprivatisasi seluruh aspek yang ada di dalam industri media. Perusahaan media
harus sepenuhnya terprivatisasi supaya efektif karena dengan adanya
keterlibatan pemerintah akan mengganggu kredibilitas media tersebut dan
memiliki potensi dari pengaruh-pengaruh politik.
Kedua, adalah dengan membuka
batasan-batasan dari luar terhadap media dan investasi asing. Selain membantu
dalam privatisasi media, media asing juga dapat menambah sumber
informasi-informasi yang ada di luar negeri.
Ketiga, adalah masalah permintaan
konsumen. Adanya kekurangan dalam permintaan konsumen terhadap informasi akan
menyebabkan tidak berjalannya mekanisme dalam mengkoordinasikan peraturan dan
kebijakan dalam perkembangan ekonomi
Krisis Ekonomi
Ekonomi memiliki sebuah siklus yang
terus berulang-ulang. Terdapat periode boom yaitu ketika ekonomi sedang
mencapai puncaknya (ditandai dengan inflasi yang relatif lebih tinggi,
pertumbuhan ekonomi naik, tingkat pengangguran menurun) dan terdapat juga
periode resesi yaitu ketika ekonomi sedang dalam fase krisis (ditandai dengan
inflasi rendah/bahkan deflasi, pertumbuhan ekonomi terkontraksi, tingkat
pengguran meningkat).
Sejarah ekonomi global mencatat
setidaknya terdapat dua krisis ekonomi terbesar dalam periode satu abad
terakhir yaitu resesi ekonomi tahun 1930an dan krisis finansial global tahun
2008. Selain dua krisis besar tesebut, perekonomian negara-negara di dunia juga
telah dilanda krisis-krisis lainnya seperti krisis Amerika Latin dan krisis
moneter Asia 1997-1998 dan krisis-krisis lain yang skala dan dampaknya relatif
lebih kecil dibandingkan dua krisis besar tadi. Dalam artikel ini akan
memusatkan pada krisis finansial global 2008 yang melanda perekonomian
negara-negara maju dan sebagian negara berkembang di dunia.
Krisis finansial global tahun 2008
berawal dari krisis sub prime mortgage di Amerika Serikat. Menurunnya
trend suku bunga Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir sebelum terjadinya
krisis membuat geliat pada sektor perumahan AS. Untuk mewujudkan “American
Dream” yaitu bahwa setiap orang di Amerika Serikat dapat memiliki rumah
sejumlah perbankan AS berlomba-lomba untuk menawarkan KPR kepada warga AS
dengan bunga yang murah.
Namun, booming sektor
properti AS pada tahun 2007 membuat perbankan kalang kabut lantaran adanya
kredit macet dari para debitor. Adanya default dari para debitor KPR disebabkan
oleh perbankan yang tidak memperhatikan aspek kelayakan debitor dalam menerima
KPR. Perbankan berani memberikan kredit kepada orang-orang yang dikategorikan
sebagai “NINJA – No Income, No Jobs, No Assets”. Krisis tersebut
berdampak luas lantaran kredit sub prime mortgage tersebut dijadikan
instrumen derivatif oleh perbankan untuk diperjualbelikan kembali.[1]
Puncak dari krisis tersebut adalah
kolapsnya bank-bank investasi seperti Lehman Brother dan bank lain yang masih
dapat diselamatkan oleh pemerintah AS. Kolapsnya Lehman Brothers membuat pasar
keuangan global anjlok. Indeks-indeks saham global seperti Dow Jones dan
Hangseng turun drastis. Para investor kebanyakan panik dan menciptakan tekanan
jual pada instrumen-instrumen keuangan di tiap pasar domestik. Selain berdampak
pada pasar keuangan, perekonomian juga mengalami perlambatan dengan ditandai
oleh menurunnya global demand. Kondisi tersebut membuat pertumbuhan
negara-negara OECD dan negara-negara lain yang bergantung pada ekspor-impor,
seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia mengalami kontraksi pertumbuhan yang
cukup signifikan.[2]
Media Massa dan Krisis Ekonomi
Setelah membahas tentang peran media
massa dalam perekonomian dan krisis finansial global 2008, selanjutnya adalah
mencari kaitan antara peran media massa tersebut di dalam krisis finansial
global. Dari berbagai informasi yang disajikan oleh media massa terdapat
informasi yang sifatnya lebih spekulatif, jauh dari pendugaan emipiris atau
lainnya, yang dikenal dengan rumor.
Rumor merupakan sesuatu yang sesuatu
yang sifatnya masih bias, belum dipastikan kebenarannya. Rumor sering kali
berhembus di dalam pasar keuangan khususnya dalam pasar saham. Selain dari
komunikasi dua arah langsung, rumor sebagian besar berasal dari media massa.
Bahkan berberapa surat kabar maupun berita di televisi seakan-akan melegalkan
dari adanya rumor tersebut. Dalam pasar saham rumor sering dijadikan “alat
pendongkrak” nilai saham suatu emiten. Namun rumor juga seringkali dapat
menjatuhkan nilai saham suatu emiten atau sektoral.
Dalam krisis finansial 2008 terdapat
beberapa faktor yang mengaitkan antara peran media dan krisis itu sendiri.
Pertama pemberitaan yang dilakukan secara gencar oleh media (khusunya televisi
dan internet), terutama setelah kolapsnya Lehman Brothers membuat para
investor panik. Bursa-bursa saham global mengalami tekanan aksi jual. Sehingga
otoritas bursa berberapa negara harus melakukan suspensi perdagangan untuk
menghindari penurunan indeks yang lebih dalam. Para pemodal merespon
berita-berita tersebut dengan langsung melarikan modalnya dari negara tujuan
investasi. Kemudahan pelarian modal tersebut didukung juga dengan capital
mobility yang semakin bebas di banyak negara dan semakin terintegrasinya
pasar.
Kedua adalah semakin majunya
teknologi dalam media massa membuat krisis semakin cepat terjadi. Melalui
televisi dan internet yang semakin canggih, media massa dapat menyampaikan
berita dengan sangat cepat. Bahkan, teknologi real time yang ada di
pasar saham sudah dapat diakses oleh investor langsung sehingga memudahkan
investor untuk mengambil keputusan. Selain itu munculnya berbagai situs portal
ekonomi, seperti Market Watch, Reuters, Wall Street Journal, dan
lainnya juga menambah akses informasi bagi pelaku ekonomi.
Ketiga adalah media massa sering
kali membuat pemberitaan yang masih bersifat rumor. Kondisi tersebut membuat
para pelaku pasar ragu-ragu dalam pengambilan keputusan. Contoh kasus yang
terjadi yaitu saat langkah bailout yang akan diambil oleh pemerintah AS
terhadap bank-bank dan perusahaan AS, banyak media massa yang menduga-duga
bahwa perusahaan seperti General Motors, AIG, Citigroup maupun akan
segera gulung tikar dan sebagainya. Banyak media menduga perusahaan-perusahaan
tersebut tidak akan mendapat dana talangan dari pemerintah AS seperti yang
telah dilakukan kepada Lehman Brothers. Meski pada akhirnya pemerintah
AS menggelontorkan dana talangan US$700 milyar kepada 928 bank/perusahaan.[3]
Dari penjelasan tiga faktor tersebut peran media massa di dalam krisis sangat
signifikan. Informasi-informasi yang diberikan oleh media massa dapat membuat
krisis terjadi lebih cepat. Frekuensi pemberitaan yang dilakukan secara terus
menerus dan serentak membuat kepercayaan diri para pelaku ekonomi semakin
runtuh. Selain itu informasi-informasi yang tidak berdasarkan fakta atau opini
semata dapat diterjemahkan ke dalam rumor.
Selain faktor-faktor di atas, media
juga memainkan peranan politik di saat terjadinya krisis. Krisis ekonomi yang
menimpa negara-negara di dunia pada tahun 2008 membuat tekanan politik pada
pemimpin-pemimpin negara tersebut. Di AS masalah dana talangan/bailout menjadi
senjata bagi Partai Republik selaku oposisi untuk menyerang Partai Demokrat.
Media dapat digunakan sebagai alat untuk menyerang politik di saat krisis
melalui talk show atau seminar yang diatayangkan di televisi kepada
publik dengan menghadirkan politisi-politisi oposisi.
Sama halnya di Indonesia, kebijakan
penanggulangan krisis berupa penyelamatan nilai rupiah dan insentif fiskal
menjadi sorotan bagi oposisi-oposisi. Selain politisi, bahkan “ekonom oposisi”
pun turut menyoroti kebijakan pemerintah melalui acara/wawancara di media
televisi maupun surat kabar. Kondisi tersebut tidak lepas dari netralitas media
itu sendiri. Media massa yang dekat dengan kekuasaan saat krisis pemberitaannya
akan condong lebih bersifat menenangkan atau bernada optimis. Sedangkan media
yang dimiliki atau dekat dengan oposisi lebih condong melakukan pemberitaan
yang frontal, bertubi-tubi, menyampaikan krisis yang melanda perekonomian
dengan hiperbola. Oleh karena itu netralitas media massa sangat diperlukan
untuk memberikan informasi-informasi yang wajar sesuai dengan realita tanpa
dibumbui rumor-rumor.
Kesimpulan
Media massa memiliki peran cukup
vital ketika ekonomi sedang krisis. Pemberitaan-pemberitaan yang disampaikan
kebanyakan diterjemahkan negatif oleh para pelaku ekonomi. Selain itu intensitas
pemberitaan yang tinggi di saat krisis juga semakin mempengaruhi keputusan para
pelaku ekonomi. Namun, bukan berarti media massa tidak boleh menyampaikan
realita yang ada, tapi kebanyakan pemberitaan yang ada lebih mementingkan
“pendramaan krisis” itu sendiri untuk tujuan-tujuan lain.
Ditengah perilaku pelaku ekonomi
yang sangat responsif dari adanya krisis, khususnya pelaku ekonomi di
negara-negara berkembang (yang kebanyakan bertindak sebagai follower dari
pelaku ekonomi negara-negara maju), sudah sepantasnya media massa menyampaikan
pemberitaan-pemberitaan yang wajar
Selain itu media massa juga
diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pemulihan krisis ekonomi. Media
massa pasca krisis perannya lebih sebagai pengobat kepercayaan dirian pelaku
ekonomi dengn memberikan informasi-informasi yang positif. Khususnya di
negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang dalam krisis ekonomi 2008
memiliki eksposur yang rendah dalam perekonomian Indonesia secara umum karena
fudamental ekonomi Indonesia yang masih baik dengan ditunjukkan oleh ekonomi
yang tetap tumbuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar