TRADISI
LISAN KABHANTI KUSAPI(ANALAIS,FUNGSI DAN MAKNA) PADA MASYARAKAT ETNIK MUNA
DI KECAMATAN LAWA KABUPATEN MUNA
SULAWESI
TENGGARA
OLEH
LA
BANARA
A2D1
09 169
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1
Latar Belakang
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi
kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan
tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan
bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang
terkandung dalam tradisi lisan.
Lord
(1995: 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam
masyarakat. Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya tetapi
melisankannya, dan penerima tidak membacanya, namun mendengar. Senada dengan
itu, Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang
diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang
beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus
penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga
gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model
untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih
lanjut Taylor (dalam Daud, 2008: 258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai
bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk
pertuturan, adat resam, atau amalan, di antaranya ritual, upacara adat, cerita
rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan permainan. Tradisi
lisan kabhanti Kusapi merupakan salah satu kebudayaan daerah yang
perlu dibina dan dilestarikan karena sastra daerah ini semakin kurang dikenal
oleh masyarakat pendukungnya dan terancam punah maka perlu mendapat perhatian
serius. Sejalan dengan perkembangan zaman yang kompetitif yang dibarengi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur budaya
dalam masyarakat hal ini perlu disadari oleh warga negara bahwa tradisi lisan
yang tersebar diberbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Arus
informasi yang serba canggih telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut
simpati generasi muda, akibatnya tradisi lisan yang merupakan warisan leluhur
terabaikan begitu saja. Di samping itu penyebrannya bersifat lisan tanpa
dokumen tertulis dan penutur setia semakin berkurang menjadikan tradisi lisan
terancam punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka sastra
tersebut lambat laun akan punah sama sekali. Padahal dalam tradisi lisan itu
tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan
kepada generasi selanjutnya. Kabhanti Kusapi
merupakan salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Muna yang biasa
disampaikan dalam balas pantun dengan cara berkelompok misalnya terdiri dari
kelompok laki-laki dan perempuan atau juga dalam bentuk monolog (perorangan).
Seni tradisi lisan ini disampaikan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengemukakan serta menyampaikan maksud tertentu baik yang berisi sindiran,
nasehat, maupun percintaan. Bagi masyarakat pendukungnya kabhanti Kusapi tersebut dibawakan dengan cara dilantunkan atau
dinyanyikan dan biasanya diiringi alat musik gambus yang biasa dilaksanakan
atau disajikan pada acara pesta kampung misalnya pernikahan, khitanan, dan
jenis kegiatan lain yang ada dalam masyarakat Muna. Kabhanti Kusapi sering digunakan dalam kehidupan
masyarakat Muna yang banyak mengandung nilai budaya, norma-norma sosial dan
mengandung nilai estetika dan moral dari masyarakat pendukungnya. Di samping
itu kabhanti Kusapi dapat berguna
untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang
banyak digunakan oleh orang-orang tua dalam mendidik anak-anak dan juga dapat
digunakan oleh pemuda dan pemudi dalam hal mencurahkan isi hatinya kepada
seseorang seperti menyatakan cinta kasih, suka duka, kerinduan dan kekecewaan. Namun keberadaan tradisi
lisan kabhanti Kusapi tidak jauh nasibnya dengan tradisi lisan lisan
lainnya yang terancam punah. Masyarakat Muna khususnya generasi muda tidak
mengetahui bentuk, fungsi dan makna kabhanti
Kusapi. Kurangnya perhatian generasi muda terhadap warisan leluhur itu
disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah adanya kemajuan zaman yang
serba canggih, akibatnya mereka lebih tertarik pada karya sastra modern yang
lebih tersedia di sekitarnya, padahal bahasanya serta nilai-nilai kehidupan
yang syarat di dalamnya, lebih dari cukup untuk menobatkannya sebagai tradisi yang
bermutu tinggi. Hal tersebut semakin menambah kekhawatiran bahwa di masa
mendatang kabhanti Kusapi ini akan
hilang dari peredaran masa. Giddens (2003: 67) mengatakan bahwa globalisasi membawa
prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dan
mengancam peradaban manusia. Melalui budaya konsumerisme, globalisasi telah
banyak menimbulkan konflik, kesenjangan, dan bentuk-bentuk budaya baru.
Globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional
dan menggiring umat manusia pada pola
kesamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan
identitas kelompok. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak
atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Storey, 2007: 54).
Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi
juga mempengaruhi dari segala aspek kehidupan. Globalisasi, di satu sisi
membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, namun di sisi lain
memberikan pengaruh negatif yang signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Bukan
hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya tetapi juga mengancam
kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang
secara turun temurun yang telah diwariskan sebagai bentuk warisan budaya lokal.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Bentuk, Fungsi
dan Makna kabhanti Kusapi pada Masyarakat Etnik Muna di Kecamatan Lawa
Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”?
1.2 Tujuan dan
Manfaat
1.2.1
Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas
maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi
dan Makna kabhanti Kusapi pada Masyarakat Etnik Muna di Kecamatan Lawa
Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.2.2. Manfaat
penelitian
Adapun
manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Sebagai
salah satu sumbangan pemikiran teoritis dalam rangka memperkaya bahan reverensi
di bidang tradisi lisan.
2.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
terutama yang berkaitan dengan tradisi lisan.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
reverensi kepada peneliti lain yang relevan dengan penelitian ini.
4. Sebagai bahan ajar bagi pembelajaran muatan lokal di sekolah khususnya
pembelajaran bahasa dan sastra daerah Muna.
1.3 Ruang
Lingkup Penelitian
Ruang
lingkup penelitian ini adalah:
1. Bentuk kabhanti yang
meliputi (a) jumlah baris, (b) jumlah suku kata, (c) jumlah kata, (d)
persajakan, dan (e) ritme (irama).
2.
Fungsi Kabhanti meliputi (a) sebagai nasehat
(mendidik), (b) sebagai hiburan, dan (c) sebagai pelestarian budaya.
3. Makna kabhanti meliputi
(a) kabhanti yang bertema nasehat,
(b) kabhanti yang betema agama, dan
(c) kabhanti yang bertema percintaan.
1.4 Batasan
Istilah
1. Bentuk adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah,
tipografi (bentuk penulisan) meliputi jumlah baris, jumlah suku kata, persajakan, ritme (irama).
2. Fungsi adalah kegunaan suatu hal, daya guna.
3. Makna adalah sesuatu yang tidak terlihat secara
lahiriah, merupakan penggambaran secara harfiah dan secara konteks yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indeonesia.
4. Kabhanti adalah sejenis puisi lama yang menyerupai pantun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Tradisi Lisan
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi
kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan
tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan
bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang
terkandung dalam tradisi lisan.
Masyarakat etnik Muna memiliki tradisi ritual
yang telah diwariskan dari turun-temurun dari generasi tua ke generasi muda
secara berkelanjutan. Salah satu tradisi lisan yang masih hidup di
tengah-tengah masyarakat etnik Muna di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna adalah
tradisi lisan kabhanti kusapi.
Hoed (2008: 184) menyatakan, berbagai
pengetahuan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan
dan mencakup hal-hal seperti yang dikemukan oleh Roger Told dan Pudentia (1995:
2) yakni…”oral traditions do not only
contain folktales, myth and legends (…), but store complete indigeneous cognate
systems. To name a few:
histories, legal practices, adat law, medication”. Lord (1995: 1)
mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat.
Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya tetapi melisankannya, dan
penerima tidak membacanya, namun mendengar. Senada dengan itu, Pudentia (2007:
27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan
secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang kesemuanya
disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak
hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan
tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi
pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi
etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008: 258),
mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh
masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, atau amalan, di
antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan
permainan.
2.1 Konsep Kabhanti
Menurut Mokui
(1991: 6-8) bahwa dilihat dari penggunaannya kabhanti itu dapat dibagi atas empat macam:
(1) Kabhanti
kantola; yaitu kabhanti yang
digunakan pada waktu bermain kantola. Kantola adalah sejenis permainan
tradisional, dimana para pemain berdiri berhadapan antara pemain pria dan
wanita. Mereka berbalas pantun dengan irama lagu ruuruunte atau ruuruuntete.
Irama ruuruunte ini menggunakan paling tinggi lima nada. Acara kantola biasanya
dilaksanakan pada malam hari di musim kemarau setelah selesai panen ubi kayu
dan ubi jalar. Adapun bentuk syair kabhanti
seperti ini, sepintas lalu dapat kita katakan prosa liris yakni prosa yang
mementingkan irama. Akan tetapi bila kita teliti benar sebagian dapat
digolongkan bentuk pantun yang disebut talibun yakni pantun yang lebih dari
empat baris tetapi genap jumlahnya.
(2) Kabhanti
watulea; adalah kabhanti yang
menggunakan irama watulea. Kabhanti macam
ini biasanya dinyanyikan pada waktu menebas hutan atau berkebun. Sambil bekerja
mereka menyanyi bersama-sama atau sendirian. Kadang-kadang dinyanyikan agar
tidak kesepian di tempat kesunyian. Syair kabhanti
watulea sebenarnya hanya dua baris dan masing-masing baris terdiri dari
tiga kata atau dua kata bila kata itu agak panjang. Karena pada waktu
mengulangi menyanyikannya diantarai dengan kalimat E……..ingka kotughu daano,
sehingga seolah olah pantun itu terdiri dari tiga baris.
(3)
Kabhanti gambusu; yakni pantun
yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama gambus. Biasanya menggunakan gambus
kuno yaitu gambus yang bentuknya sederhana, tidak seperti gambus yang kita
lihat pada layar televisi. Kadang-kadang instrumen yang digunakan bukan hanya
gambus akan tetapi dilengkapi dengan biola, kecapi, serta botol kosong yang
ditabu atau dipukul dengan sendok atau paku mengikuti irama lagu dan bunyi
instrumen-instrumen enak didengar. Walaupun bukan hanya gambus yang digunakan
pada waktu bermain, tetapi pantun yang dinyanyikan disebut kabhanti gambusu (pantun gambus). Kabhanti gambusu biasanya disajikan pada acara pesta kampung
misalnya pernikahan, khitanan, dan jenis kegiatan lainnya yang ada dalam
masyarakat muna.
(4) Kabhanti modero; sebenarnya sama dengan kabhanti gambusu.
Kabhanti gambusu
sering pula dinyanyikan pada waktu bermain modero.
Oleh sebab itu kabhanti gambusu
disebut pula kabhanti modero. Modero adalah tari daerah yang hampir
sama dengan tari lulo (tari daerah Sulawesi Tenggara). Para pemain saling
bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil menyanyi seirama dengan langkah
dalam tarian.
(5)
Kabhanti kusapi, yakni pantun yang dinyanyikan dengan diiringi oleh irama
gambusu kusapi
Berdasarkan uraian di atas maka
obyek kajian dalam penelitian ini adalah kabhanti
gambusu atau modero. Alasan memilih kabhanti gambusu atau modero adalah karena kabhanti ini sama dengan jenis puisi
lama(pantun). Tuturan kabhanti gambusu
dan modero adalah sama, hanya yang
menjadi perbedaan adalah cara pelaksanaannya. Kabhanti gambusu dilaksanakan dengan menggunakan alat musik gambus
baik dalam bentuk perorangan maupun sendiri-sendiri, sedangkan modero
dilaksanakan secara berkelompok dengan cara bergandengan tangan yang menyerupai
tari lulo. Jadi yang menjadi fokus penelitian saya adalah kabhanti gambusu atau modero.
2.2 Sastra Lisan
Sebagai
data kebudayaan, sastra dapat dibedakan menjadi dua yaitu sastra tulis dan
sastra lisan (Sumardjo dan Saini, 1997:78-79).
Sastra
adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorsinalan, kewadahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman, 1990: 71). Menurut
Mulyana dalam Kurnia et al. (1997:7),
sastra dibangun oleh seni kata yakni sebagai penjelmaan jiwa yang diekspresikan
ke dalam keindahan kata.
Beberapa
ahli memberikan batasan tentang sastra yaitu sebagai berikut:
1. Sastra adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni yang bentuk dan ekspresinya
imajinatif (Wellek dalam Zulfahnur et al., 1997:7).
2. Sastra adalah ekspresi dari kehidupan dengan media
bahasa yang khas (Hudson dalam Zulfahnur et al., 1997: 7).
3. Sastra adalah ungkapan peribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu
bentuk gambaran konkrit yang
mengakibatkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo dalam Adji et al., 1997: 8).
4. Sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang
berunsur fiksionalitas, yang merupakan luapan emosi spontan (Luxemburg dalam
Zulfahnur et al., 1997:8).
Dari
batasan sastra tersebut dapat diketahui sifat-sifat sastra yaitu:
a. Sastra bersifat khayali (fictionality): maksudnya lewat daya imajinasinya pengarang ingin
mengungkapkan kenyataan-kenyataan hidup, sehingga kehidupan lebih bermakna dan
menarik minat pembaca.
b. Sastra mengandung nilai estetik sehingga karya sastra
punya daya tersendiri.
c. Sastra memakai bahasa yang khas yaitu bahasa estetik
(Kurnia et al., 1997: 7-8).
Sastra lisan adalah salah satu unsur
kebudayaan yang mengandung berbagai informasi kebudayaan yang tengah diteliti
(Rokhman, 2003: 79).
Sastra lisan adalah sastra yang
dituturkan dari mulut ke mulut (Emeis, 1995: 5). Menurut Suhita et al.
(1996:90) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan
secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang pencerita atau penyair kepada
seseorang atau sekelompok pendengar.
Dengan demikian kabhanti Wuna yang tergolong dalam sastra lisan karena didendangkan
dari mulut seseorang atau sekelompok
orang yang juga merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Muna.
2.3 Pengertian Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris ”folklore”. Kata itu adalah kata majemuk
yang berasal dari dua kata dasar ”folk
dan lore” (Danandjaja, 2002: 1).
Menurut Alan Dundes, ”folk” adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan,
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan ”lore”
adalah tradisi ”folk”, yaitu sebagian
kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(Danandjaja, 2002: 1-2).
Folklor
menurut Brunfand dalam semiotika (1997: 9) adalah sebagian dari kebudayaan
suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan turun temurun secara kolektif dan secara tradisional dalam
versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat.
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, di antara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang
berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002: 02).
Brunfand dalam Lampasa (2005: 13-14) menjelaskan bahwa
folklor meliputi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:
(1) Folklor lisan (verbal
volklore),
Folklor lisan
yaitu folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk folklor yang termasuk dalam kelompok besar
ini antara lain meliputi:
a. Bahasa
rakyat, seperti sindiran, logat, bahasa rahasia dan mantera.
b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah
dan seloka.
c. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki.
d. Puisi rakyat,
seperti pantun, syair dan gurindam.
e. Cerita rakyat, seperti mite, legenda, dongeng,
fabel, dan cerita.
(2) Folklor sebagian lisan (party verbal volklore).
Folklor sebagian lisan
adalah folklor yang bentuknya campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini antara lain;
kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta rakyat.
(3) Folklor bukan
lisan (non verbal volklore),
folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun
pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bentuk ini dibagi lagi menjadi dua
sub kelompok yakni yang material dan bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang
tergolong material antara lain; arsitektur rakyat (bentuk lumbung padi, bentuk
rumah asli daerah), kerajinan tangan rakyat dan obat-obatan tradisional
sedangkan yang termasuk folklor bukan material antara lain; gerak isyarat
tradisional dan musik rakyat.
Menurut
Brunvand dalam Danandjaja (2002: 21-22) folklor dapat digolongkan dalam tiga
tipe, yaitu:
1.
folklor lisan, yaitu folklor yang
bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termaksud ke dalam
kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan
tradisional, seperti peribahasa, pepatah,dan pameo; (c) pertanyaan tradisional,
seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)
cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat.
2.
folklor sebagian lisan adalah folklor
yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh modern seringkali disebut takhyul,
terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang
dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik
yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah
dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat
membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu.
3.
folklor bukan lisan, yaitu folklor yang
bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Contohnya seperti, arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan
minuman rakyat, dan musik rakyat.
Selanjutnya Danandjaja dalam Semiotika (1997 : 2) menyebutkan bahwa ciri
pengenal folklor khususnya folklor lisan adalah sebagai berikut :
1) Penyebaran
dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan melalui tutur
kata dari mulut ke mulut.
2) Folklor
bersifat tradisional yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau bukan
bentuk standar.
3) Folklor
ada dalam bentuk versi-versi yang berbeda, hal ini diakibatkan oleh cara
penyebarannya dari mulut ke mulut.
4) Folklor
bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5) Folklor
biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
6) Folklor
mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7) Folklor
bersifat prologis yakni mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum.
8) Folklor
menjadi milik bersama dari kolektif tertentu yang hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang
pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang
bersangkutan merasa miliknya.
9) Folklor
pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga sering kali terlihat kasar dan
spontan.
Jadi kabhanti adalah tergolong folklor lisan.
2.5 Bentuk-bentuk puisi
Rakyat
Menurut
Zuniar et al. (1997:87) bahwa yang termasuk dalam puisi lama atau puisi rakyat
adalah (1) mantra, (2) bidal, (3) gurindam, (4) talibun, (5) syair, (6) pantun
dan lain-lain.
1. Mantra
Mantra
adalah kata-kata yang mengandung hikmah atau kekuatan gaib. Kekuatan batin
mantra berupa permainan bunyi dan biasanya bersuasana mitis dalam hubungan
manusia dengan tuhan (Adji et al., 1997:89).
2. Bidal
Bidal
adalah peribahasa atau pepatah yang mengandung nasihat, peringatan, dan
sebagainya (Sudjiman, 1990:13).
Pendapat lainnya bahwa yang dimaksud
dengan bidal adalah kalimat-kalimat yang singkat, mengandung pengertian atau membayangkan
sesuatu yang sifatnya sindiran atau kiasan. Bidal meliputi :
- Pepatah,
yaitu kalimat-kalimat yang seolah-olah dipatah-patahkan yang mengiaskan
suatu keadaan atau tingkah laku seseorang.
- Peribahasa,
yaitu kalimat-kalimat yang mengatakan perihal atau sesuatu keadaan yang
dinyatakan dengan berkias seperti bermain api basah, bermain api letup.
- Perumpamaan,
yaitu kalimat yang mengumpamakan keadaan alam yang sebenarnya dengan
keadaan lain di alam. Contoh, biduk di kayuh ke hilir.
- Ibarat,
yaitu perumpamaan yang lebih jelas, karena disertai dengan arti dan
penjelasan.
- Pameo,
yaitu kata-kata atau kalimat singkat yang mengandung ejekan atau semangat
yang ditiru dari ucapan seseorang. Contoh sekali merdeka tetap merdeka
(Husnan dalam Muhadat, 2005:12-13).
3. Gurindam
Menurut Sudjiman (1990:33) menyebutkan
bahwa gurindam adalah jenis puisi melayu lama yang terdiri dari dua larik yang
berima akhir dan yang merupakan kesatuan utuh. Larik pertama melukiskan syarat,
larik kedua berupa jawab, kesimpulan, atau akibatnya. Biasanya berisi nasihat.
4. Talibun
Talibun adalah salah satu bentuk puisi lama yang menyerupai pantun.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sudjiman (1990:77) bahwa talibun sama
dengan pantun. Jumlah baris talibun biasanya 6,8,10,12 atau 14 (Kinayati,
1997:93).
5. Syair
Dalam kamus istilah sastra, syair adalah
jenis puisi lama yang tiap baitnya
terdiri atas empat larik, yang bersajak sama; isinya dapat merupakan kiasan
yang mengandung mitos dan unsur sejarah, atau merupakan ajaran falsafah atau
agama. Syair biasanya panjang-panjang, bentuknya sederhana dan biasa berisi
cerita angan-angan, sejarah dan petua-petua (Emeis, 1952:7).
Pradopo et al. (1998: 2.6) mengemukakan
ciri-ciri formal syair adalah :
1. Satu
bait terdiri dari empat baris (larik).
2. Tiap
larik terdiri dari dua bagian yang sama.
3. Pola
sajak (rima) akhir syair berupa sajak sama: a-a-a-a.
4. Keempat
baris syair saling berhubungan membentuk cerita.
5. Dalam
syair satu bait, belum selesai.
6. Syair
bersifat epis, yaitu berupa cerita.
6. Pantun
Pantun adalah jenis puisi lama yang
terdiri dari empat larik berirama silang a-b-a-b, tiap larik biasanya berjumlah
empat kata. Dua larik pertama disebut sampiran dan dua larik beriktunya disebut
isi pantun. Jumlah suku kata 8-12. Ada juga pantun yang terdiri dari enam atau
delapan larik (Djojosuroto et al., 1997:92-93)
Zulfahnur et al. (1997:94-95)
berpendapat bahwa pantun adalah bagian dari karya sastra lama yang banyak
macamnya, namun jika dilihat dari segi isi yang terkandung didalamnya, pantun
hanya dibagi atas tiga bagian yaitu : (a) pantun anak-anak, (2) pantun
muda-mudi, (3) pantun orang tua.
Adapun ciri-ciri format pantun adalah
sebagai berikut :
- Satu
bait terdiri dari empat baris
(larik).
- Tiap
larik terdiri dua bagain yang sama.
- Pola
sajak (rima) akhir pantun berupa sajak berselang : a-b-a-b.
- Pantun
terbagi menjadi dua bagian, yaitu baris kesatu dan baris kedua disebut
sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat disebut isi.
- Dalam
pantun, satu bait sudah lengkap.
- Pantun
bersifat liris, berupa curahan perasaan atau pikiran (Pradopo et al.,
1998: 2.6).
Berdasarkan
uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa
Kabhanti adalah sejenis pantun.
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.
1 Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan karena
peneliti secara langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif, karena tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna yang terkandung dalam
tradisi lisan kabhanti kusapi. Di
samping itu karena fenomena yang menjadi sasaran penelitian dideskripsikan
sebagaimana adanya tanpa disertai perhitungan statistik, maka metode dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Penggunaan
metode kualitatif tersebut dilakukan karena data yang dihasilkan adalah data
deskriptif berupa tuturan-tuturan lisan dari orang. Apabila prosedur penelitian
menghasilkan data penelitian seperti yang dikemukakan di atas, maka penelitian
tersebut tergolong penelitian kualitatif.
3. 2 Data dan Sumber Data
3. 2. 1 Data
Data dalam penelitian ini adalah tuturan tradisi lisan kabhanti kusapi. Data yang dimaksud
sesuai dengan ruang lingkup penelitian yaitu bentuk tradisi lisan kabhanti kusapi.
3.
2. 2 Sumber Data
Sumber
data dalam penelitian ini adalah informan di lapangan sebanyak 4 orang.
Informan yang dimaksud dikategorikan sebagai pewaris kolektif tradisi lisan kabhanti kusapi. Untuk menjaga keabsahan
data-data dalam penelitian ini, maka yang menjadi informan adalah mereka yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Penutur asli bahasa Muna yang ucapannya fasih dan
jelas.
- Memiliki alat-alat artikulasi yang normal.
- Berusia 45 tahun ke atas dan pelantun tradisi lisan kabhanti kusapi.
3.
3 Metode Pengumpulan Data
Metode
dapat diartikan sebagai cara kerja yang dilakukan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
simak dan metode cakap. Berdasarkan metode tersebut, maka teknik yang dilakukan
untuk mengumpulkan data adalah teknik rekam dan teknik catat.
Teknik
rekam dilakukan dengan cara merekam lantunan tradisi lisan kabhanti kusapi dengan menggunakan alat bantu tape recorder. Hal
ini mengingat bilamana data yang diperoleh tersebut masih menimbulkan keraguan
atau masih mengandung kesalahan, maka rekaman tersebut dapat diperdengarkan
kembali. Teknik catat dimaksudkan untuk mencatat semua data yang diperoleh data yang diperoleh melalui perekaman kemudian
diwujudkan dalam bentuk teks tertulis. Selain itu teknik catat juga digunakan
untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting di luar data rekam untuk
mendapatkan informasi tambahan.
3.
4 Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan pendekatan struktural, mengacu pada pandangan strukturalisme yang
menganggap bahwa dunia karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang.
Pendekatan struktural menempatkan karya sastra atau peristiwa dalam masyarakat
menjadi satu keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara
bagian-bagiannya dan antara bagian dari keseluruhan (Wahid, 1999: 78).
Analisis
struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetail dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan
aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw
dalam Wahid, 1999: 80). Dengan menggunakan analisis struktural maka dapat
mencakup susunan tradisi lisan kabhanti
kusapi yang dianalisis. Kegiatan penelitian ini bersifat deskriptif yakni
menguraikan, menginterpretasikan data berdasarkan apa yang ditemui di lapangan,
khususnya bentuk, fungsi dan makna tradisi lisan kabhanti kusapi.
Prosedur pengolahan data dilakukan dengan tahapan-tahapan
yang mengacu pada pendapat Kutha Ratna (Dharmojo, 1998 :8) mengatakan
bahwa mula-mula data dideskripsikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat
dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, yang dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut:
- Transkripsi rekaman data, yaitu memindahkan data
dalam bentuk tulisan yang sebenarnya. Data lisan kabhanti kusapi yang diperoleh dipindahkan ke dalam bentuk
data tulisan.
- Klasifikasi data, yaitu semua data dikumpulkan
sesuai dengan karakteristik dan klasifikasi berdasarkan isi. Data
penelitian yang sudah berbentuk teks tradisi lisan kabhanti kusapi dikumpulkan sesuai dengan karakteristiknya dan
dilakukan klasifikasi berdasarkan isinya.
- Penerjemahan data, yaitu pada tahap ini semua data
yang telah dikelompokkan langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Teks tradisi lisan kabhanti kusapi
yang masih dalam bahasa aslinya (bahasa Muna) di terjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
- Analisis data, yaitu pada tahap ini peneliti
menganalisis semua data yang terkumpul berdasarkan bentuk, fungsi dan
makna tradisi lisan kabhanti kusapi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Irwan, dkk. 2008. Agama dan kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Adiwilaga,
A. 1982. Manajemen
Usaha Tani. Jakarta Rajawali Press
Aris,
La Ode. 2010. Kaago-ago (Ritual
Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna). Tesis di Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan
Barker, Chris. 2004. 2005. Cultural studies. Teori dan Praktik. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Bentang Pustaka.
Barker, Chris. 2004. Cultural
studies. Teori dan Praktik. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta: Benteng
Pustaka
Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial. Alih
Bahasa Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daud,
Haron. 2008. Analisis Data Penelitian
Tradisi Lisan Kelantan. dalam Metodologi
Kajian Tradisi Lisan. (Pudentia, ed.). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan.
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Esten, Mursal, 1999. Kajian Transfirmasi Budaya. Bandung:
Angkasa
Fox,
James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah
: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Djambatan.
Hoed,
Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika
Sosial Budaya. Jakarta: FIB-UI
Jegalus,
Norbert, 2003. “Filsafat Kebudayaan”, Diktat Bahan Kuliah Filsafat Agama
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta : Balai Pustaka
Maleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Posdakarya
Maleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Posdakarya
Pudentia,
2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi
Lisan Melayu Mak Yong. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Purwasita, Andrik. 2003 .Komunikasi Multikultural. Surakarta:
Muhammadiyah University
Rahman,
Abdul. 2007. Ritual Cera Lepa (Selamatan Perahu Baru) dalam Masyarakat Bajo di
Kelurahan Petoaha Kota kendari, Sulawesi Tenggara. Skripsi di Jurusan
Antropologi Universitas Haluoleo. Tidak diterbitkan.
Rosidi,
Ajib. 1995. Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoetomo,
M.A. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Undonesia.
Mitra Pelajar: Surabaya.
Husnan,
Ema, dkk. 1986. Apresiasi Sastra
Indonesia. Angkasa: Bandung.
Nursisto,
Drs. 2000. Ikhtiar Kesusastraan Indonesia.
Yogyakarta: Adi Cita.
Pradopo,
Djoko. 1999. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Purwanto,
Ngalimin. 1993. Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Ganesa
Pradotokusumo,
Partini Hardjono. 2002. Pengkajian Sastra.
Bandung: Wacana.
Sudikan,
Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian
Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sutarno.
1967. Peristiwa Sejarah Sastra Melayu
Lama. Widya Duta: Surabaya.
Zaidan,
Abdul Rozak, dkk. 2000. Kamus Istilah
Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Zulfahnur,
Z.F, dkk. 1996/1997. Teori Sastra
Indonesia. Jakarta: Depdikbud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar